Konsep Hijrah Dan Aplikasinya Hari Ini
By: Ryan Arief Rahman
Bab. I MUQADDIMAH
Segala puji bagi Allah Ta'ala, kami memuji dan meminta pertolongan kepadanya, kami juga meminta perlindungan-Nya dari kejahatan diri dan amalan-amalan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah Ta'ala maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan oleh-Nya maka tidak ada yang dapat menunjukinya. Kami bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan sebenarnya selain hanya kepada Allah Ta'ala semata dan kami bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada junjungan kita Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam beserta keluarga dan para Shahabatnya serta siapa saja yang berjalan mengikuti jejaknya sampai hari Kiamat.
Sesungguhnya kaum muslimin ,kapan dan dimana pun jua tidak mungkin memiliki eksistensi tanpa adanya kekuatan,dan kekuatan ini tidak akan mungkin terealisasi kecuali dengan adanya jama’ah atau komunitas muslim yang berdiam disuatu wilayah,yang disitu bisa diterapkan segala aturan dan hukum Alloh dengan individual system tanpa gangguan dari pihak musuh dan ketidak bebasan di dalam menjalankannya.
Semenjak Muhamad Shallallahu 'alaihi wasallam diangkat menjadi Rosul,dalam setiap waktunya Beliau selalu memikirkan dan berusaha agar dapat merealisasikan ini semua dengan berbagai cara.Ditambah dengan banyaknya intimidasi,gangguan,cobaan,dan fitnah yang selalu dialami Beliau dan para sahabatnya ketika di makkah,menjadikan Beliau senantiasa mencari alternatif berdasarkan bimbingan wahyu untuk mencari tempat yang sekiranya tepat untuk dijadikan basis da’wah islam.hari demi hari,bulan demu bulan,tahun demi tahun,sampai Alloh memberikan pilihan kepada Beliau disebuah negri yang pada saat itu bernama Yatsrib,tanah subur yang terletak diantara dua tanah gersang,dengan penduduknya yang terdiri dari kaum khojroj dan ‘aus yang mereka bersedia menjadi pelindung,pendukung,pengikut,dan pembela setia da’wah islamiyah,yang akhirnya didalamnya berhasil di bangun komunitas muslim yang betul betul bebas menjalankan syare’at islam tanpa adanya tekanan tekanan sebagaimana sebelumnya,ketika Beliau berdomisili di makah selama tiga belas tahun dengan menda’wahkan risalah islam kepada kaumnya sendiri. Hijrah dari makah ke madinah bukan merupakan peristiwa yang terjadi secara kebetulan,akan tetapi adalah hasil dari proses dirosah maidaniyah [studi lapangan] yang berkali kali dilakukan Rosululloh Shallallahu 'alaihi wasallam sebelumnya ketika Beliau masih berada di makah.Hijrah demi hijrah Beliau tempuh dengan memerintahkan sahabatnya melakukan observasi kedaerah yang Beliau tunjuk,mencari tempat yang dirasa cocok dan tempat untuk menyebarkan risalah islam.
Oleh karena itu bagi orang yang membaca siroh Rosululloh Shallallahu 'alaihi wasallam bersama para sahabatnya secara jeli dan teliti,maka akan dia dapatkan bahwa hijrah adalah momentum terpenting dalam sejarah da’wah islamiyah.sebab semenjak Rosululooh Shallallahu 'alaihi wasallam ke madinah,kaum muslimin dapat berkumpul di dalam komunitas orang orang bertauhid dan mempunyai basis Da’wah Islamiyah yang berfungsi sebagai mercusuar yang menerangi segenap penjuru Jazirah Arab ketika itu dengan risalah islam. Hijrah merupakan peristiwa besar dalam sejarah ummat islam, ia merupakan sebuah pengorbanan untuk memperoleh perubahan berarti dalam hidup ini. Tidak mungkin ada perubahan bila tidak diiringi dengan pengorbanan. Substansi hijrah adalah perubahan mendasar dari tatanan yang tidak kondusif ke arah tatanan islami, tatanan itu mencakup berbagai aspek dan dimensi, mulai dari sosial, akhlaq, ekonomi, hukum sampai pada urusan politik dan kekuasaan. Dengan imam, hijrah serta jihad, seseorang mencari rahmat Allah Ta'ala dan mengharapkan keutamaan serta pahala dari-Nya. Dan rahmat Allah Ta'ala itu sangat dekat sekali dengan orang yang berbuat baik. Dan rahmat tersebut meliputi segala sesuatu, akan tetapi tidak ada yang berhak mendapatkannya selain orang-orang yang dikehendaki oleh Allah Ta'ala saja. Sebagaimana firman Allah Ta'ala قال تعالى :" إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ أُوْلاَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللهِ وَاللهُ غَفُورُُ رَّحِيمُ ". Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (lihat QS. al-Baqarah:218) Kata hijrah dan jihad di dalam al-Qur’an selalu berhubungan. Fuqaha’ mensyaratkan adanya bekal dan kendaraan bagi seorang muslim yang mau berhaji, adapun hijrah dan jihad tidak disyaratkan seperti itu, baik bekal maupun kendaraan. Jika seorang muhajir mendapatkan kendaraan, maka ia dapat mengendarainya dan jika ia tidak menemukan, maka ia harus berjalan kaki. Hijrah dan jihad adalah kewajiban yang tidak disertai syarat apapun selain sehat badan. Hijrah dan jihad termasuk perkara yang sangat sukar terhadap diri manusia, dan sesuatu yang paling menyesakkan hati, sebab sesuatu yang paling dicintai oleh manusia adalah kampung halaman dan keluarga. Allah Ta'ala menetapkan pahala di dunia sebelum di akhirat dalam hijrah dengan firman-Nya قال تعالى :" وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ ثُمَّ قُتِلُوا أَوْ مَاتُوا لَيَرْزُقَنَّهُمُ اللهُ رِزْقًا حَسَنًا وَإِنَّ اللهَ لَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ - لَيُدْخِلَنَّهُم مُّدْخَلاً يَرْضَوْنَهُ وَإِنَّ اللهَ لَعَلِيمٌ حَلِيمُُ ". Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. - Sesungguhnya Allah akan memasukkan mereka ke dalam suatu tempat (surga) yang mereka menyukainya. Dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” (lihat QS. al-Hajj: 58-59) Di dalam hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang menginjakkan kakinya di atas kendaraannya untuk pergi (hijrah) di jalan Allah, lalu ia disengat serangga yang berbisa atau ia wafat dengan cara apapun, maka ia dalam keadaan mati syahid.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Hijrah itu nilainya sangat besar di sisi Allah Ta'ala, demikian juga pahalanya besar dan banyak di sisi-Nya, sehingga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam membanggakan hijrah. Suatu ketika beliau memuji orang-orang Anshar, seraya berdo’a: “Ya Allah, sayangilah kaum Anshar, anak-anak mereka, serta cucu mereka.” Kemudian beliau bersabda: “Seandainya bukan karena hijrah, tentu aku termasuk orang-orang Anshar, seandainya bukan karena hijrah maka aku berangan-angan ingin menjadi orang Anshar, akan tetapi hijrah itu mendahului keutamaan menolong di jalan Allah Ta'ala.” (HR. Ahmad)
Sehingga sudah menjadi catatan sejarah di sepanjang abad bahwa hijrah tidak bisa dilepaskan dari rantai perjuangan Rosululloh Shallallahu 'alaihi wasallam bersama para sahabat Radhiallahu 'anhum dalam menegakkan dienul islam di permukaan bumi.bahkan hijrah merupakan satu perjuangan yang tidak akan pernah gugur kewajibannya atas orang orang beriman sampai islam benar benar menjadi Way Of Life dalam mengatur kehidupan dan segala problematika manusia di dunai ini hingga hari kiamat. Bab. II DEFINISI HIJRAH v Secara Bahasa Hijrah الهِجرَةُ atau الهُجرَةُ atau المُهاجَرَة berasal dari kata هَجَر يَهجُر هَجراً و هِجرَةً yang artinya meninggalkan (pindah). (lihat Qamus al-Munawwir hal. 1489) Di dalam “al-Munjid fiel Lughah” bahwa الهِجرَةُ artinya الخُرُوجُ مِن أَرضٍ أُخرَى artinya keluar dari satu negeri ke negeri yang lain. (lihat Al-Munjid fiel Lughah hal. 855)
Ahmad bin Muhammad bin ‘Aly al-fayumi al-Mughri’ menyebutkan didalam “al-Mishbahul Munir” bahwa الهِجرَةُ artinya مُفارَقَةُ بَلدٍ إِلى غَيرِهِ yaitu berpisah dari satu negeri ke negeri yang lain. (lihat Al-Mishbahul Munir hal. 242)
Sedangkan di dalam al-Mu’jamul Wasith” disebutkan bahwa الهِجرَةُ adalah الخُرُوجُ مِن أَرضٍ إِلى أَرضٍ أُخرَى و انتِقَالُ الأَفرادِ مِن مَكانٍ إِلى الأُخرَى سَعياً وَراءَ الرِّزقِ yaitu keluar dari satu negeri ke negeri lain dan berpindahnya seseorang dari suatu tempat ke tempat yang lain dalam rangka berusaha mencari rizki. (lihat Al-Mu’jamul Washith hal. 973)
Di dalam “Tartibul Qamus al-Muhith” disebutkan bahwa الهُجرَةُ dan الهِجرَةُ yaitu الخُرُوجُ مِن أَرضٍ إِلى أُخرَى artinya keluar dari suatu tempat/bumi ke tempat yang lain. (lihat Tartib al-Qamus al-Muhith hal. 481)
v Secara Istilah Syar’ie Di dalam kitab “al-Hijratu Masaail wa Ahkaam” syaikh Abu Basyir menyatakan: “Hijrah adalah keluar di jalan Allah Ta'ala dari negeri kafir menuju negeri islam, dan dari negeri yang banyak terjadi fitnah menuju ke negeri yang lebih ringan fitnahnya. (lihat Al-Hijratu Masa’il wa Ahkam hal. 8)
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Shalih al-Jarbu’ mengatakan: “Hijrah adalah keluar dari Negeri Harb menuju Negeri Islam, sebagaimana perkataan Ibnul ‘Araby di dalam “Ahkamul Qur’an” dan Ibnu Qudamah di dalam “al-Mughny” mengatakan: “Hijrah adalah berpindah (keluar) dari Negeri Kafir menuju Negeri Islam.”
Syaikh Sa’id bin ‘Athiq di dalam “ad-Durusu Saniyah” menyebutkan bahwa: “Hijrah adalah berpindah dari suatu negeri yang penuh dengan kesyirikan dan kemaksiatan menuju negeri islam dan negeri ketaatan.” (lihat Al-I’lam biwujubil Hijrah min Daril Kufri ila daril Islam hal. 13)
Syaikh Abdullah ‘Azzam berkata: “Hijrah adalah suatu pernyataan yang jelas tentang ketetapan tekad untuk berjalan/berpindah menuju Allah Ta'ala.” (lihat Pemahaman Hijrah dan I’dad jilid 1 hal. 122)
Ulama’ Nejed berkata: “Hijrah adalah berpindah dari kekufuran menuju keimanan, dari negeri harb menuju negeri islam, dan dari kejelekan menuju kesucian.” (lihat Fatawa al-Aimmah an-Najdiyah jilid 4 hal. 26)
Ibnul ‘Araby berkata: “Hijrah adalah keluar dari negeri harb menuju negeri islam.” (lihat Al-Mausu’ah al-Muyassarah jilid 2 hal. 1173) Ibnu Hajar al-Asqalany berkata: “Hijrah di dalam islam terjadi atas dua kali, sisi yang pertama: Berpindah dari negeri yang berbahaya menuju negeri aman, sebagaimana berhijrahnya para Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam ke Habasyah dan permulaan hijrah dari Makkah menuju Madinah al-Munawwarah. Sisi yang kedua: Berpindah dari negeri kafir menuju negeri iman, sebagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dari tempat kaum muslimin menuju Madinah al-Munawwarah.” (lihat Al-Mausu’ah al-Muyassarah 2/1173 dan Fathul Baary 1/16) Hijrah secara garis besar ada dua macam, yaitu: Berpindah tempat dengan keluar dan berpindah dari wilayah kufur menuju wilayah islam. Dan dari negeri/wilayah yang banyak terjadi fitnah menuju negeri yang sedikit fitnahnya untuk mencari keselamatan jiwa dan dien. Macam dari hijrah ini sesungguhnya telah disyari’atkan oleh Allah Ta'ala kepada hamba-Nya dan diabadikan banyak di dalam al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya قال تعالى :" وَمَن يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللهِ يَجِدْ فِي اْلأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً وَمَن يَخْرُجْ مِن بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللهِ وَكَانَ اللهُ غُفُورَا رَّحِيمًا ". Artinya: “Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya disisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (lihat QS. an-Nisaa’: 100) قال تعالى :" وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللهِ مِن بَعْدِ مَاظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلأَجْرُ اْلأَخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ ". Artinya: “Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui,” (lihat QS. An-Nahl: 41) قال تعالى :" ثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِينَ هَاجَرُوا مِن بَعْدِ مَافُتِنُوا ثُمَّ جَاهَدُوا وَصَبَرُوا إِنَّ رَبَّكَ مِن بَعْدِهَا لَغَفُورُُ رَحِيمُُ ".
Artinya: “Dan sesungguhnya Rabbmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar; sesungguhnya Rabbmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (lihat QS. An-Nahl: 110) قال تعالى :" وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ وَالَّذِينَ ءَاوَوْا وَنَصَرُوا أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَّهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ ". Artinya: “Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia.” (lihat QS. Al-Anfaal: 74)
Dalam hadits shahih dari Nabi Shalalahu 'alaahi wa Salam bersabda قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :" برئت الذّمّة ممّن أقام مع المشركين ".
Artinya: “Saya berlepas diri tentang jaminan bagi siapa yang bertempat tinggal bersama orang-orang musyrik di negeri mereka.” (HR. Thabrany, Shahih Jami’us Shaghir no. 2818) Beliau juga bersabda قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :" أنا بريء من كلّ مسلم يقيم بين أظهر المشركين قالوا :" يا رسول الله، و لم ؟" لا تراءى ناراهما ".
Artinya: “Saya berlepas diri dari seorang muslim yang tinggal di kalangan kaum musyrikin, para Shahabat berkata: “Mengapa ya Rasulullah ?” beliau menjawab: “Janganlah kalian melihat neraka keduannya.” (HR. at-Turmudzy no. 1307)
Beliau juga bersabda قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :" آمركم بخمس كلمات أمرني الله بهنّ : السّمع و الطّاعة و الجماعة و الهجرة و الجهاد ".
Artinya: “Saya memerintahkan kalian lima perkara yang Allah Ta’ala memerintahkan hal itu kepadaku, yaitu: mendengar, taat, berjamaah, hijrah dan jihad.”
Dari Abu Fatimah Radliyallahu 'anhu, sesungguhnya ia berkata: “Wahai Rasulullah kabarkan untukku suatu amalan yang saya dapat beristiqamah dengannya dan mengamalkannya.” Maka Rasulullah Shalalahu 'alaahi wa Salam bersabda untuknya: “Hendaklah kamu hijrah, karena sesungguhnya tidak ada amalan yang serupa dengannya.” (HR. at-Turmudzy no. 2298) Maksudnya adalah tidak ada semisal dengannya ditinjau dari kebaikan dan pahala yang diperoleh untuk seorang muhajir di dunia dan akhirat.
Dari Jarir Radliyallahu 'anhu ia berkata: “Suatu hari saya mendatangi Rasulullah Shalalahu 'alaahi wa Salam, sedang beliau sedang membaiat, lalu saya berkata: “Wahai Rasulullah bentangkanlah tanganmu sehingga saya berbaiat kepadamu, dan berikanlah syarat kepadaku karena engkau lebih mengetahui,” maka Rasulullah Shalalahu 'alaahi wa Salam bersabda: “Saya membaiat kamu untuk beribadah kepada Allah Ta’ala, mendirikan shalat, menunaikan zakat, memberi nasehat kepada kaum muslimin dan menjauhi orang-orang musyrik.” (HR. an-Nasa’ie no. 3893)
Rasulullah Shalalahu 'alaahi wa Salam bersabda قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :" إنّي بريء من كلّ مسلم مع مشرك ...... ألا لاتراءى نارهما ".
Artinya: “Saya berlepas diri dari setiap orang muslim yang tinggal bersama orang-orang musyrik …hendaklah kalian jangan berusaha melihat keduanya.” (HR. Abu Dawud no. 2420) Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam juga bersabda قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :" من جامع المشرك و سكن معه فإنّه مثله ".
Artinya: “Barangsiapa berkumpul dengan orang musyrik dan tinggal bersamanya, sesungguhnya ia sama dengannya (orang musyrik).” (Silsilah as-Shahihah no. 2330) Sedangkan macam yang kedua dari hijrah adalah hijrah dari maksiat, dan dosa-dosa serta setiap apa yang telah dilarang Allah Ta’ala, sebagaimana yang tercantum dalam hadits shahih, Rasulullah Shalalahu 'alaahi wa Salam bersabda: “Seorang muslim adalah seorang yang selamat lisan dan tangannya, sedangkan seorang muhajir adalah seorang yang berhijrah dari apa-apa yang telah Allah Ta’ala larang.” (HR. al-Bukhary)
Dari apa yang telah Allah Ta'ala larang tentang bermukim di tengah-tengah kalangan orang-orang musyrik, haditsnya adalah umum yang mengandung kedua macam hijrah ini, baik hijrah ke negeri atau hijrah dari maksiat dan dosa-dosa. Nabi Muhammad Shalalahu 'alaahi wa Salam bersabda قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :" المؤمن من أمنه النّاس على أموالهم و أنفسهم ، و المهاجر من هجر الخطايا و الذّنوب ".
Artinya: “Seorang mukmin adalah seorang yang menjamin keamanan manusia atas harta dan jiwa mereka, dan seorang muhajir adalah seorang yang berhijrah dari kesalahan dan dosa-dosa.” ( HR. Ibnu Majah no. 3178)
Nabi Muhammad Shalalahu 'alaahi wa Salam bersabda قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :" أفضل الهجرة أن تهجر ما كره ربّك عزّ و جلّ ".
Artinya: “Sebaik-baik hijrah adalah berhijrah dari apa-apa yang dibenci Rabb-mu Azza wa Jalla.” (HR. Ahmad, Silsilah as-Shahihah no. 553)
Dan di dalam riwayat yang lain dikatakan: “Rasulullah Shalalahu 'alaahi wa Salam ditanya tentang hijrah apa yang lebih utama?”, maka beliau bersabda: “Hijrah seseorang dari apa yang telah Allah Ta’ala haramkan.” (HR. Abu Dawud dan an-Nasa’ie, Shahih Targhib 1318) Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata: “Hijrah ini ada dua macam, hijrah yang dhahir dan bathin. Hujrah yang bathin adalah menunggalkan apa-apa yang diperintah kepada nafsu amarah dan syaithan, sedangkan hijrah yang dhahir adalah pergi dengan membawa dien dari segala macam fitnah.” (Fathul Baary, Ibnu Hajar al-Asqalany 1/5)
Imam Ibnu berkata: “Kemudian kata hujrah lebih umum digunakan untuk keluar dari suatu daerah ke daerah lain, dan meninggalkan yang pertama untuk yang kedua.” (lihat An-Nihayah fie Gharibil Hadits wal Atsar 5/224)
Sedangkan Imam ath-Thabary berkata: “Kata muhajarah berasal dari makna, seseorang yang menjauhi orang lain karena ada permusuhan diantara keduanya, kemudian kata ini digunakan kepada setiap orang menjauhi sesuatu karena ada perkara yang ia benci.”
Dari sini sehingga dikatakan, bahwa disebutkannya orang-orang yang berhijrah dari kalangan Shahabat Rasulullah Shalalahu 'alaahi wa Salam dengan nama muhajirin, sebab mereka itu meninggalkan negeri dan rumah-rumah mereka karena ada rasa benci untuk tinggal di tengah-tengah komunitas kaum musrikin dan di bawah kekuasaan mereka para Shahabat merasa tidak aman dari gangguan mereka jika tinggal di dalamnya, sehingga menyebabkan mereka pindah ke tempat yang lebih aman. (lihat Jami’il Bayan fie Tafsiril Qur’an 2/207) Imam Ibnul ‘Araby berkata: “Hijrah ialah keluar dari Darul Harb menuju Darul Islam. Wajib hukumnya dari masa Nabi Shalalahu 'alaahi wa Salam sampai datangnya hari Kiamat. Sedangkan yang tidak wajib karena adnya Fath Makkah adalah hijrah menyusul Nabi Shalalahu 'alaahi wa Salam.” (lihat Ahkamul Qur’an 1/484)
Dan begitu juga yang didefinisikan oleh Imam Ibnu Qudamah dan Ibnu Rajab, bahwa hijrah adalah keluar (pindah) dari Darul Kufri menuju Darul Islam.” (lihat Al-Mughny 10/514, dan Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 10)
Sedangkan syaikh Shalih al-Fauzan juga mendefinisikan dengan arti yang tidak jauh berbeda, bahwa hijrah adalah pindah dari negeri kaum kafir ke negeri kaum muslimin dengan tujuan lari membawa dienul islam. Hijrah dengan makna dan tujuan seperti ini adlah wajib. Serta tetap ada sampai terbitnya matahari dari arah barat pada hari Kiamat nanti. (lihat Al-Wala’ wal Bara’ fiel Islam hal. 17)
PENGERTIAN AD-DAAR
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Shalih al-Jarbu’ Rahimahullah berkata: “Ad-Daar mempunyai dua buah arti, arti khusus dan umum. Ad-Daar ditinjau dari arti khusus adalah sebagaimana Fuqaha’ mendefinisikannya, yaitu: nama untuk sebuah medan/lapangan yang ditegakkan di atasnya hudud, yang mencakup rumah dan tanah datar yang tidak beratap. Sedangkan jika ditinjau dari arti umum, maka ia adalah suatu tempat yang terdiri dari halaman dan bangunan.” (lihat Tartib al-Qamus al-Muhith, Thahir Ahmad az-Zawy 2/229, cet. 4 th. 1417 H/1996 M) dan disebut juga dengan negeri.
Penulis “Mu’jamul Lughah” berkata: “Ad-Daar adalah tempat tinggal yang terdiri dari bangunan dan apa saja yang ada disekitarnya, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman قال تعالى :" فَجَاسُوا خِلاَلَ الدِّيَارِ وَكَانَ وَعْدًا مَّفْعُولاً ".
Artinya: “……lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana.” (lihat QS. al-Hajj: 5) قال تعالى :" أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ خَرَجُوا مِن دِيَارِهِمْ ".
Artinya: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka,………” (lihat QS. al-Baqarah: 243)
Dari sini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa ad-Daar adalah kota, negeri, daulah, atau sebuah desa. Yang terpenting adalah bahwa ad-Daar adalah berkumpulnya manusia yang tinggal dari belahan bumi manapun, hidup dengan peraturan yang mereka berhukum dengannya untuk semua urusannya, baik peraturan itu syar’ie atau wadl’ie, dan mungkin kita katakan bahwa ad-Daar adalah suatu negeri, dan apa-apa yang mencakup dari provinsi-provinsi yang masuk ke dalam hukumnya.
Pada masa yang akan datang, ad-Daar adalah daulah, yaitu: Pembentukan siasat-siasat yang bersatu untuk merealisasikan kemuliaan dan kekuasaan terhadap daerah-daerah/provinsi-provinsi yang memperaktekkan hudud-hududnya, dan menjadikan daulah menjadi sebuah negeri, maka Hakim, Khalifahnya ataupun Amirul Mukmininnya menjadi pemimpin dalam kekuasaan ini, dan inilah maksud penggunaan kata Daulah menurut Fuqaha’ Siyasah Syar’iyah atau Ahkam Sulthaniyah, sesungguhnya daulah berdiri tegak dengan tiga rukun, yaitu: adanya negeri, rakyat dan kekuatan.
Sebuah daulah terhimpun dari kumpulan peraturan-peraturan dan pemerintahan-pemerintahan, sebagaimana pelaksanaan setiap pemerintahan yang mempunyai tugas khusus dari tugas-tugas daulah, dan masyarakat bekerja untuk merealisasikan maksud umum, yaitu memelihara mashlahat di dalam dien dan dunia kaum muslimin. (lihat Al-I’lam biwujubil Hijrah min Daril Kufri ila Daril Islam, syaikh Abdul ‘Aziz bin Shalih al-Jarbu’ hal. 7-9) MACAM-MACAM AD-DAAR
1. Darul Islam Di kalangan Ulama’ terjadi perbedaan pendapat dalam mendefinisikan Darul Islam. Dari perbedaan Ulama’, maka Dr. Abdullah ath-Thuraiqy (lihat Al-Isti’anatu bighairil Muslimin hal. 170-172 dan al-Jihadu wal Qitalu 1/662) menyimpulkan dari berbagai perbedaan pendapat Ulama’ itu menjadi tiga pendapat, yaitu: Pendapat pertama Pendapat yang menyatakan bahwa sebuah negara dikatakan negara islam berdasarkan kekuasaan yang ada. Bila kekuasaan berada di tangan kaum muslimin, maka negara tersebut adalah Darul Islam. Ini adalah pendapat imam ar-Rafi’ie. Beliau berkata: “Bukanlah syarat sebuah negara islam itu bahwa negara tersebut harus dihuni oleh kaum muslimin, namun sudah cukup di bawah kekuasaan penguasa muslim.” Asy-Syarakhsy berkata: “Darul Islam adalah nama bagi sebuah tempat yang berada di bawah kekuasaan kaum muslimin dengan tanda kaum muslimin aman tinggal di dalamnya, namun jika kaum muslimin tidak dapat tinggal dengan aman maka negara tersebut darul Harbi.” (lihat Al-Isti’anah hal. 70) Ibnu Hazm adh-Dhahiry berkata: “Sebab sebuah negara itu dinisbatkan kepada yang menguasai, mengatur dan merajainya.” (lihat Ikhtilafu Daraini hal. 30-33) Pendapat Kedua Pendapat yang menyatakan bahwasanya sebuah negara itu disebut Darul Islam jika hukum yang berlaku di dalamnya adalah hukum islam. Ini adalah pendapat jumhur Ulama’. Abdul Qadir al-Baghdady berkata: “setiap negara yang berjalan di dalamnya dakwah islam tanpa harus dijaga dan dilindungi, dan juga di dalamnya dilaksanakan hukum islam kepada Ahlu dzimmah jika penduduknya adalah Ahlu dzimmah dan Ahli Bid’ah tidak menguasai Ahiu Sunnah, maka itu adalah Darul Islam, jika sebaliknya maka itu adalah Darul Kufri.” (lihat Al-Isti’anah hal. 170) Ibnu Yahya al-Murtadla az-Zaidy di dalam bukunya “’Uyunul Azhar” berkata: “Darul Islam adalah negara yang menonjol di dalamnya dua kalimat syahadat dan shalat serta tidak tampak di sana suatu bentuk kekafiran walaupun disebabkan ta’wil, kecuali dengan persetujuan, tanggungan dan jaminan keamanannya dari kaum muslimin. Sedangkan Darul Kufri adalah sebuah negara yang kekuatannya (kekuasaanya) di tangan orang-orang kafir, dan tidak ada Dzimmah (tanggungan) kaum muslimin terhadap mereka.” (lihat ‘Uyunul Azhar hal. 528) Imam asy-Syaukany dalam “as-Sailul Jarar 4/575” memberikan komentar terhadap pernyataan ini, yaitu: “Yang dijadikan patokan adalah Dhuhurul Kalimah. Apabila perintah-perintah dan larangan-larangan yang belaku di dalamnya milik ummat islam, sehingga orang-orang kafir tidak dapat memperlihatkan kekafirannya kecuali atas izin dari kaum muslimin, maka ini di sebut Darul Islam. Munculnya bentuk kekafiran di dalam negeri tersebut tidak membahayakan (tidak berpengaruh terhadap status negara) karena kemunculannya bukan disebabkankarena kekuatan dan kekuasaan orang-orang kafir. Sebagaimana yang dapat disaksikan pada Ahlu dzimmah dari kalangan orang Yahudi, Nashrani dan orang-orang kafir yang tinggal di daerah-daerah islam yang terikat perjanjian dengan kaum muslimin. Kalau kondisi negara tersebut sebaliknya, maka hukumnya disebut juga sebaliknya (negara kafir).” (lihat Ikhtilafu Daraini hal. 30-33, al-Isti’anatui hal. 170-172 dan al-Jihadu wal Qitalu 1/664) diduduki kaum muslimin dan di dalamnya berjalan hukum-hukum islam, maka jika di dalamnya tidak berjalan Imam Ibnul Qayyim menukil perkataan jumhur, yaitu: “Darul Islam adalah negara yang hukum-hukum islam maka itu bukan Darul Islam walaupun berdampingan sebuah Darul Islam.” (lihat Ikhtilafu Daraini hal. 30-32) Imam Ibnu Muflih al-Hanafie berkata: “setiap negara yang hukum islam menguasai di dalamnya, maka disebut Darul Islam, dan apabila dikuasai oleh hukum kafir maka disebut Darul Harbi, dan selain kedua jenis ini maka tidak ada jenis yang lain.” (lihat Al-Adabu asy-Syar’iyah 1/212) Ulama’ Nejed berfatwa: “Darul Islam adalah negara yang hukum-hukum islam berlaku di dalamnya, sekalipun penduduknya bukan kaum muslimin. Bila negara tidak demikian (hukum islam tidak jalan), maka negara tersebut adalah Darul Kufri. Jika kesyiririkan merajalela di dalam negeri, diikuti merajalelanya kebobrokan moral dan kebejatan, bid’ah-bid’ah berkembang luas, seruan yang ada menyerukan selain kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, maka seluruh (kandungan) al-Qur’an, ilmu dlarury, dan ijma’ Ulama’ menunjukkan bahwa negeri ini adalah Darul Kufri dan Darus Syirkin.” Syaikh Abdullah Abu Bathin berkata: “Para Shahabat mengatakan bahwa negara itu ada dua, negara islam dan negara kafir. Negara islam adalah negara yang hukum-hukum islam berlaku di dalamnya sekalipun penduduknya bukan kaum muslimin, negara yang tidak demikian (tidak berjalan hukum-hukum islam) adalah negara kafir.” (lihat Fatawa al-Aimmah an-Najdiyah 4/7-8) Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di berkata: “Darul Islam adalah negara yang diperintah oleh kaum muslimin, hukum-hukum islam diperlakukan dan kekuasaan berda di tangan kaum muslimin sekalipun mayoritas penduduknya orang-orang kafir.” (lihat Al-Wala’ wal Bara’ fiel Islam, Dr. Muhammad bin Sa’id al-Qahthany, hal. 270) Sayyid Qutb berkata: “Darul Islam mencakup setiap negara yang dilaksanakan di dalamnya hukum-hukum islam dan negara tersebut juga diatur dengan syari’at islam, sama saja apakah seluruh penduduknya kaum muslimin atau terdiri dari kaum muslimin dan dzimmi atau seluruhnya kaum dzimmi, akan tetapi para pemimpinnya adalah kaum muslimin yang melaksanakan syari’at islam di dalamnya dan mengatur negara itu dengannya pula.” (lihat Tafsir fie Dhilalil Qur’an, Sayyid Qutb 2/874) Syaikh Abdul Wahhab Khalaf berkata: ”Darul Islam adalah negara yang memberlakukan syari’at islam di dalamnya dan orang-orang yang tinggal di dalamnya mendapat jaminan keamanan dari kaum muslimin, baik mereka itu kaum muslimin atau Ahli Dzimmi.” (lihat As-Siyasah asy-Syar’iyah hal. 69, dalam al-Jihadu wal Qital 1/666) Dr. Wahhab az-Zuhaily berkata: “Standart dalam membedakan status negara adalah adanya kekuasaan dan berjalannya hukum. Jika islamy (pemimpin dan hukum yang berlaku), maka negara itu adalah Darul Islam, dan jika bukan islamy, maka negara itu adalah Darul Harbi.” (lihat Atsaratul Harby hal. 155, dalam al-Jihadu wal Qital 1/667) Dr. Abdul Karim Zaidan berkata: “Darul Islam menurut Fuqaha’ meliputi semua negara yang diperintah oleh kaum muslimin dan mereka menerapkan hukum-hukum islam di negara tersebut…bisa saja sebuah negara menjadi Darul Islam sekalipun di negara tersebut tidak ada seorangpun dari warga negeranya yang muslim selama pemimpinnya adalah kaum muslimin dan menerapkan hukum-hukum islam. Inilah makna perkataan Fuqaha’ Syafi’iyah yang berkata: “Adanya kaum muslimin di suatu negara yang tidak menjadi syarat sebuah negara itu menjadi Darul Islam. Sudah cukup sebuah negara itu disebut Darul Islam bila dikuasai oleh kaum muslimin.” Perlu diperhatikan dalam pendapat Fuqaha’ Syafi’iyah ini tidak disyaratkan penerapan hukum-hukum islam dalam menetapkan bahwa sebuah negara itu negara islam. Sebabnya adalah penerapan hukum-hukum islam dalam menetapkan hukum islam suatu hal yang sudah pasti (aksioma, otomatis) menurut pandangan Fuqaha’ selama negara tersebut dipimpin oleh pemimpin muslim, karena kondisi dari pemimpin muslim adalah senantiasa menerapkan syari’at islam.” (lihat Majmu’atul Bahts Fiqhiyyah hal. 51 dalam al-Jihadu wal Qitalu 1/667-668) Syaikh Muhammad Qutb berkata: “Fuqaha’ telah berijma’ bahwa mensifati sebuah negara dengan sifat Darul Kufri atau Darul Islam itu tidak ada kaitannya dengan aqidah warga negaranya, melainkan berkaitan dengan hukum-hukum yang lebih dominan di negara teersebut. Bumi/daerah yang diberlakukannya syari’at Allah adalah negara islam, apapun aqidah warga negaranya. Dan bumi/daerah yang diberlakukan di dalamnya selain syari’at Allah adalah negara kafir, apapun aqidah warga negaranya.” (lihat Mafahimu Yanbaghi an Tushahahu, Muhammad Qutb hal. 130) Pendapat ketiga: Pendapat yang menyatakan suatu negara disebut Darul Islam jika negara tersebut dihuni oleh kaum muslimin dan dapat melaksanakan sebagian syi’ar-syi’ar ta’abuddiyah (ritual peribadatan), ini adalah pendapat al-Bajrimy dan ad-Dasuky. Al-Bajrimy as-Syafi’ie berkata: “Darul Islam adalah negara yang dihuni oleh kaum muslimin walaupun di dalamnya ada Ahlu dzimmah atau negara yang telah ditaklukkan kaum muslimin dan dibiarkan di tangan kaum kafir atau kaum muslimin yang tinggal di dalamnya kemudian diusir oleh orang-orang kafir dari negara tersebut.” (lihat Al-Isti’anah hal. 171) Kesimpulan dari berbagai pendapat di atas, para Ulama’ menyimpulkan bahwa sebuah negara dapat dikatakan sebagai negara islam jika memenuhi dua syarat, yaitu:
1. Pemerintah yang berkuasa adalah muslim
2. Pemerintah tersebut melaksanaka hukum islam sebagai satu-satunya hukum yang berlaku di dalam negara. Kedua syarat ini akan melahirkan hasil yang dapat dirasakan oleh seluruh warga negara, baik kaum muslimin maupun Ahlu dzimmah yaitu keamanan, dan definisi ini sesuai dengan kandungan firman Allah Ta'ala قال تعالى :" وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ كَمَااسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لاَيُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ ".
Artinya: “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan merobah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa.Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku.Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik.” (lihat QS. an-Nuur: 55) Dengan demikian, Darul Islam adalah negara yang dilaksanakan hukum islam di dalamnya, diatur oleh kekuasaan kaum muslimin dan kekuatannya berda di tangan kaum muslimin.
Kesimpulan Ulama’ yang menyebutkan dua syarat di atas, yaitu:
a. Dr. Ismail Luthfy Fathary berkata: “Sesungguhnya beratnya penamaan Darul Islam dan Darul Harbi dimulai oleh Fuqaha’ dengan adanya dua syarat pokok, yaitu: berlakunya hukum dan adanya kekuasaan. Apabila hukum yang berlaku di negara tersebut adalah hukum islam serta kekuasaan yang dipegang oleh Imamul Muslim, maka negara tersebut adalah Darul Islam,dan tandanya adalah kaum muslimin di sana dalam keadaan aman secara mutlaq. Adapun bila hukum-hukum yang berlaku di dalamnya hukum kafir serta kekuasaan dan kekuatan dipegang oleh orang-orang kafir, maka negara itu adalah Darul Harbi, dan tandanya adalah kaum muslimin di sana dalam keadaan tidak aman.” (lihat Ikhtilafu Daraini hal. 33-35)
b. Dr. Muhammad Khair Haikal berkata: “Darul Islam adalah negara yang nidhamul hukmi (UUD yang berlaku) di dalamnya adalah nidhamul islam dan pada saat yang sama, keamanan dalam dan luar negeri berada di tangan kaum muslimin. Maksudnya kekuatan militer yang memantapkan keamanan dalam negeri dan menjaga batas-batas negara dari musuh yang berada di luar wilayahnya.” Dari sini disimpulkan bahwa sangat diperlukan dua syarat secara bersama-sama, yaitu menghukumi (mengatur) negara dengan hukum islam dan kekuatan islam yang melindungi negara dan warganya, baik di dalam maupun di luar negeri. Pengambilan kesimpulan mengenai dua syarat ini mesti ada secara bersamaan untuk benarnya mensifati sebuah negara itu dengan Darul Islam.” (lihat Al-Jihadu wal Qitalu fies Siyasah asy-Syar’iyah 1/669)
c. Dr. Abdullah Ahmad Qadiri berkata: “Darul Islam adalah bumi yang hukum-hukum Allah Ta'ala dimenangkan (dhuhur) di dalamnya, dan hukum-hukum Allah tersebut tidak akan menang kecuali kalau pemimpinnya adalah kaum muslimin yang multazimin dengan syari’at-Nya dan menerapkan hukum-Nya di wilayah itu,” sesungguhnya Darul Islam adalah negara yang di dalamnya hukum-hukum Allah Ta'ala menang dan hukum-hukum kafir tersembunyi, sedangkan Darul Kufri adalah negara yang di dalamnya hukum kafir menang dan hukum islam tersembunyi.” (lihat Al-Jihadu fie Sabilillah 1/603)
d. Dr. Salamah Daqas dalam bukunya “al-‘Alaqat ad-Da’wiyah fiel Islam” berkata: “Jelaslah dari pembagian dua negara ini, bahwa ukuran standar untuk membedakan sebuah negara adalah adanya kekuasaan dan berjannya hukum. Jika kekuasaan dan hukum yang berjalan adalah berlandaskan islam, maka negara tersebut adalah Darul Islam, dan jika bukan berlandaskan islam, maka negara tersebut adalah Darul Harbi. Ini sudah jelas dengan berdasarkan definisi Fuqaha’ terhadap pembagian negara/wilayah.” (lihat Al-Jihadu fie Sabilillah 1/608)
e. Dr. Abdullah ‘Azzam berkata: “Pendapat yang kuat dalam mendefinisikan Darul Islam menurut jumhur Fuqaha’ adalah bumi/daerah yang kekuasaan politik yang memerintah berada di tangan kaum muslimin, syiar-syiar islam ditegakkan dan hukum-hukum islam dilaksanakan. Artinya negara yang pemerintahannya dipimpin oleh kaum muslimin dan undang-undang yang berlaku adalah islam, meskipun mayoritas penduduknya adalah bukan muslim.” (lihat I’lanul Jihad hal. 25)
f. Imam Ibnu Qayyim berkata: “Mayoritas Ulama’ mengatakan bahwa Darul Islam adalah negara yang dikuasai oleh ummat islam dan hukum-hukum islam diberlakukan di negeri tersebut. bila hukum islam tidak dilaksanakan, maka bukan Darul Islam sekalipun negara tersebut berdampingan dengan Darul Islam. Contohnya: negeri Tha’if, sekalipun letaknya sangat berdekatan dengan kota Makkah, namun dengan terjadinya Fathu Makkah negeri Tha’if tidak berubah menjadi Darul Islam.” (lihat Ahkamu hli Dzimmah 1/366, Ibnul Qayyim th. 1983)
g. Imam as-Sarakhsy al-Hanafy dalam “syarh as-Siyarul Kabir” berkata: “Sebuah negara berubah menjadi negara islam jika di dalamnya dilaksanakan hukum islam.” (lihat As-Siyarul Kabir 5/2197)
h. Syaikh Abdul ‘Aziz bin Shalih al-Jarbu’i berkata: “Darul Islam adalah setiap sebidang tanah yang di atasnya berlaku hukum-hukum islam, sedangkan Darul Muslimah adalah suatu negeri islam yang mencakup di dalamnya provinsi-provinsi yang berhukum dengan hukum islam, dan rakyat menegakkan hudud daulah dari kalangan kaum muslimin dan Ahli dzimmah, dan bentuk kekuasaannya adalah hukum islam.” (lihat Al-I’lamu biwujubil Hijrah min Daril Kufri ilam daril Iskam hal. 9)
2. Darul Kufri Dr. Abdullah bin Ibrahim bin Ali ath-Thuraiqy berkata: “Fuqaha’ tidak berselisih pendapat pada pengertian Darul Harbi sebagaimana pengertian Darul Islam, perkataan mereka saling berdekatan. Contohnya, Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan, dua shahabat Abu Hanifah, memberikan pengertian, yaitu: “Negara yang didominasi oleh hukum kafir.” Sedangkan Ulama’ yang bermadzhab Hambali berpendapat bahwa darul Kufri adalah negera yang dikuasai oleh hukum kafir.” (lihat Al-Isti’anah hal. 173-174)
Dr. Ali Nufa’i al-Ulyany mengatakan: “Ulama’ telah menetapkan bahwa negara kafir adalah negara yang di dalamnya hukum kafir dimenangkan dan berkuasa. Adapun negara yang di dalamnya hukum islam dimenangkan dan berkuasa, maka itu disebut negara islam mekipun hanya dihuni oleh Ahlu dzimmah dan pemimpin yang berkuasa pada saat itu adalah dari kaum muslimin yang mengatur negara dengan menegakkan hukum-hukum Allah Ta’ala diantara mereka.” (lihat Ahamiyatul Jihad hal. 363)
Dr. Ismail Luthfi Fathani berkata: “Darul Kufri adalah negara yang berjalan di dalamnya hukum-hukum kafir serta kekuasaan dan kekuatan tidak berada di tangan kaum muslimin.” (lihat Ikhtilafu Daraini hal. 30)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di berkata: “Darul Kufri adalah negara yang diperintah oleh orang kafir, hukum-hukum yang berlaku adalah hukum kafir dan kekuasaan berada di tangan orang kafir.” (lihat Al-Wala’ wal Bara’ fiel Islam hal. 270) Dr. Abdullah ‘Azzam berkata: “Darul Kufri adalah negara yang di dalamnya tidak dilaksanakannya hukum islam sekalipun mayoritas penduduknya adalah kaum muslimin, atau sebuah negara yang tidak menjadikan islam sebagai dasar dalam mengadakan hubungan baik di dalam negeri maupun di luar negeri atau pun ketika berhubungan dengan negara luar dengan tidak menggunakan dasar islam.” (lihat I’lanul Jihad hal. 26)
Dr. Abdullah Qadiri berkata: “Negeri manapun jika kekuatan dan kekuasaannya berada di tangan orang-orang kafir yang menerapkan hukum-hukum kafir dan menjauhkan hukum-hukum islam dari kehidupan manusia di bidang politik, sosial, dan militer, serta kaum muslimin yang berada di dalamnya tidak dapat menerapkan hukum-hukum islam kecuali apa saja yang diizinkan oleh orang-orang kafir sebagai pemegang kekuasaan, (itu pun sebatas) hukum-hukum Allah Ta'ala yang tidak dapat tegak Kalimatullah dengannya dan panji kekafiran tidak jatuh dengannya, maka negeri tersebut adalah Darul Kufri, bukan darul Islam. Sekalipun mayoritas penduduknya adalah kaum muslimin, dan para penguasa yang kafir itu mengaku dirinya sebagai orang islam. Karena kesimpulan hukum Darul Islam diambil dari tegaknya hukum-hukum Allah Ta'ala di negara tersebut dan Kalimatullah benar-benar tinggi. Sementara kesimpulan dari Darul Kufri diambil dari tegaknya hukum kafir dan minhajul Hayat (undang-undang) yang berlaku adalah minhajul kufri (hukum kafir).” (lihat Al-Jihadu fie Sabilillah 1/604)
Al-Qadly Abu Ya’la al-Hambaly berkata: “Setiap negara yang lebih dominan hukum kafirnya daripada hukum islamnya maka negara tersebut adalah Darul Kufri.” (lihat Al-Mu’tamadu fie Ushuliddien hal. 276 th. 1974, Darul Masyriq, Beirut)
Imam as-Sarakhsy al-Hanafi berkata: “Menurut Abu Hanifah, sebuah negara berubah menjadi Darul Kufri dengan terpenuhinya tiga syarat, yaitu: Negara tersebut berbatasan langsung dengan Darul Kufri
2. Di Negara tersebut tidak ada lagi kaum muslimin yang hidup aman dengan jaminan keimanan atau orang kafir dzimmi yang hidup aman dengan jaminan dzimmah
3. Penduduk yang berada di dalamnya melaksanakan hukum-hukum syirik di negara tersebut. Syaikh Abdul ‘Aziz bin shalih al-Jarbu’ berkata: “Darul Kufri adalah setiap sebidang tanah yang tegak di dalamnya hukum-hukum kafir, dan tidak ada persengketaan (perang) antara orang kafir dan orang islam.” (lihat Al-I’lam biwujubil Hijrah min Daril Kufri ila Daril Muslim hal. 9)
3. Darul Murakabah Syaikh Abdul ‘Aziz bin Shalih al-Jarbu’ berkata: “Darul Murakabah mempunyai dua buah makna, yaitu dia bukan dari negara islam yang di dalamnya ditegakkan hukum-hukum islam dan pasukannya terdiri dari kaum muslimin, dan ia tidak termasuk negeri kafir yang tegak di atasnya hukum kafir dan penduduknya terdiri dari orang-orang kafir, akan tetapi ia termasuk bagian yang ketiga, yaitu orang muslim yang beraktivitas di dalamnya sesuai hak-haknya, sedangkan orang-orang non muslim memerangi syari’at islam.” (lihat Al-I’lam biwujubil Hijrah min Daril Kufri ila Daril Muslim hal. 9)
4. Darul Harbi Syaikh Abdul ‘Aziz bin Shalih al-Jarbu’ berkata: “Darul Harbi adalah setiap sebidang tanah yang terjadi di dalamnya peperangan antara kaum muslimin dan kaum kafir, maka Darul Harbi adalah Darul Kafir yang di dalamnya terjadi peperangan antara mereka dengan kaum muslimin.” (lihat Al-I’lam biwujubil Hijrah min Daril Kufri ila Daril Muslim hal. 9) 5. Darul ‘Ahdi atau Darus Sulhi Yang dimaksud dengan Darus Sulhi adalah suatu negara yang penduduknya mengadakan perjanjian damai dengan imamul muslim dengan syarat-syarat yang telah disepakati antara dua belah pihak, atau negara yang ditaklukkan oleh kaum muslimin dengan jalan damai. Negara seperti ini ada dua macam, yaitu:
1. Dengan perdamaian itu tanahnya menjadi milik kaum muslimin dan dibiarkan digarap oleh ahlus shulhi. Dalam hal ini tidak ada tidak ada perselisihan diantara Fuqaha’ bahwasanya negeri tersebut adalah Darul Islam.
2. Dengan perdamaian itu tanah negeri tersebut milik mereka dan mereka membayar kharaj kepada kaum muslimin. Dalam hal ini terjadi perselisihan diantara Fuqaha’, yaitu: v Pendapat yang menyatakan bahwa negara tersebut menjadi negara islam dan penduduknya menjadi ahli dzimmah, mereka wajib membayar jizyah atau kharaj. Ini adalah pendapat pengikut madzhab Hanafi, Syafi’ie, dan sebagian dari pengikut Hambali. Adapun alasan pijakan pendapat ini adalah:
- Syarat yang disepakati oleh Ulama’ untuk berubahnya sebuah negara kafir menjadi negara islam adalah berlakunya negara islam di negara tersebut dan negara tersebut di bawah kekuasaan islam. Sementara shulhu tidak akan terjadi jika bila ada dari dua syarat ini yang tidak terpenuhi.
- Syarat diadakannya shulhu pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan para Shahabatnya adalah membayar jizyah atau kharaj kepada ummat islam, sebagai bentuk andil ahlu dzimmah kepada tentara islam yang menjaga dan membela negara tersebut. v Ibnul Qayyim berkata: “Kata as-Sulhu umum mencakup segala perdamaian antara sesama kaum muslimin maupun perdamaian dengan orang-orang kafir. Akan tetapi banyak dari kalangan Fuqaha’ menggunakan istilah tersebut untuk ahlu dzimmah yaitu orang-orang yang membayar jizyah. Dan bagi mereka ini status dzimmah yang tidak terbatas, dan mereka ini telah berjanji untuk tunduk kepada hukum Allah Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wasallam. (lihat Ikhtilafu Daraini hal. 38 dalam Ahkamu Ahlidz Dzimmah dan al-Mughny 8/526-527) Pendapat ini adalah pendapat yang lebih kuat, sebab sesungguhnya imamul muslim tidak boleh memberikan damai dan dzimmah kepada orang-orang musyrik kecuali dengan dua syarat sebagaimana pendapat Imam asy-Syafi’ie, yaitu:
1. Mereka harus mengikuti hukum islam
2. Mereka harus membayar jizyah atau semisalnya kepada kaum muslimin dan imamul muslimin wajib melindungi mereka. (lihat Ikhtilafu Daraini hal. 37-39) Pendapat yang menyatakan shulhu tidak merubah status sebuah negara, maksudnya bahwa negara tersebut tetap negara kafir. Ini adalah pendapat Ibnu Rajab al-Hambali. Dr.Ismail Luthfi mengatakan bahwa pendapat yang asing dan tidak berdalil. (lihat Ikhtilafu Daraini hal. 39-40) Pendapat yang menyatakan bahwa negara tersebut berubah statusnya menjadi Darul ‘Ahdnin atau Darus Shulhin. Ini adalah pendapat Imam al-Mawardy asy-Syafi’ie dan Abu Ya’la al-Farra’ al-Hambali, dan dijadikan alasan oleh sebagian Ulama’ kontemporer, seperti: Dr. Muhammad Abu Zahra, Dr. Muhammad Najih al-Aramnawi, Dr. Wahhab Zuhaidi dan Dr. Muhammad Salam Madkur, untuk menyatakan adanya jenis negara ketiga yaitu Darul ‘Ahdin atau Darus Shulhin. Padahal maksud dari Darul ‘Ahdin atau Darus Shulhin adalah berdasarkan kepemilikan tanah, bukan berdasarkan pemerintah yang berkuasa dan hukum yang berlaku. Pendapat ini juga lemah, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam telah mengadakan Shulhu dengan kaum Nashrani Najran dengan catatan bahwa tanah menjadi milik mereka sedangkan mereka harus membayar kharaj. Syarat ini saja belum cukup, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mensyaratkan berlakunya hukum islam diantara mereka. Beliau telah mengirim Umar bin Hazm Radliyallahu 'anhu sebagai wali/gubernur yang memungut kharaj dari mereka, sedangkan Ubadah bin Jarah Radliyallahu 'anhu diutus sebagai hakim diantara mereka yang memutuskan perkara-perkara mereka dengan hukum islam. Dengan adanya Shulhu ini termasuk menjadi negara islam, karena itu pada masa Umar bin Khaththab Radliyallahu 'anhu maka ia memindahkan mereka ke Najran-Iraq karena menghawatirkan bahaya mereka atas kaum muslimin.” (Ikhtilafu Daraini hal. 39-40) Dengan demikian maka negara ada dua macam saja, yaitu Darul Islam dan Darul Kufri, sehingga tidak ada jenis negeri yang ketiga, Darul ‘Ahdina atau Darus Shulhin. Sedangkan Darul ‘Ahdin dan Darus ahli dzimmah adalah Darul Harbi, yang mengadakan gencatan senjata dengan kaum muslimin dalam jangka waktu tertentu. Kesempatan ini disebut hudnah atau shulh, muwadda’ah, musallamah, dan mu’ahadah. Namun istilah yang paling sering digunakan adalah al-Hudnah. Dan Darul ‘Ahdi termasuk Darul Harb karena ia masih di bawah naungan hukum kafir.” (lihat Ikhtilafu Daraini hal. 57) Syaikh Abdul ‘Aziz bin Shalih al-Jarbu’ berkata: “Darul ‘Ahdi disebut juga dengan Darul Muwadda’ah dan Darus Shulh, yaitu setiap daerah yang penduduknya muslim yang shalih dengan meninggalkan perang disebabkan daerah itu adalah daerah mereka.” (lihat Al-I’lam biwujubil Hijrah hal. 10) Syaikh Abdul Qadir bin Abdul ‘Aziz berkata: “Darul ‘Ahdi adalah suatu negeri yang diantara peduduk yang berada di dalamnya dengan kaum muslimin karena terdapat mawaddah, yaitu shulh dan Hudnah.” (lihat Al-Jami’ fie Thalabil Ilmis Syar’ie, Abdul Qadir Abdul ‘Aziz 9/99 bab. 9)
6. Darul Baghy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Shalih al-Jarbu’ berkata: “Darul Baghy adalah suatu daerah dari negeri islam yang mencakup dan memiliki perkumpulan kaum muslimin yang mereka keluar dari jalur ketaatan terhadap iman.” (lihat Al-I’lam biwujubil Hijrah min Daril Kufri ila Daril Islam hal. 10) Maka kesimpulannya adalah bahwa Darul Islam adalah sebuah negeri yang terlihat dan berjalan di dalamnya hukum-hukum islam, atau setiap negeri yang dihuni oleh kaum muslimin atauahli dzimmah, dan sebaliknya adalah Darul Kufri yaitu suatu negeri yang berlaku di dalamnya hukum kafir.”
Bab. III DALIL-DALIL DISYARIATKANNYA HIJRAH
قال تعالى :" إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلاَئِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي اْلأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُوْلاَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَآءَتْ مَصِيرًا ".
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya:"Dalam keadaan bagaimana kamu ini". Mereka menjawab:"Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah dibumi itu". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali, (QS. An-Nisaa’: 97)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda عن جرير بن عبد الله رضي الله عنه أنّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال :" أنا بريء من كلّ مسلم يقيم بين أظهر المشركين." قالوا :" يا رسول الله، و لِم ؟" قال :" لا تراءى ناراهما ." Artinya: Dari Jabir bin Abdullah Radliyallahu 'anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Aku berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal di tengah-tengan kaum musyrikin.” Para Shahabat bertanya: “Mengapa ?”, lalu beliau bersabda: “Supaya (aurat dari) rumah kedua belah pihak tidak saling kelihatan.” (HR. Abu Dawud no. 2645, at-Turmudzy no. 1604 dan an-Nasa’ie no. 4789)
Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda عن سمورة بن جندب رضي الله عنه عن النّبيّ صلى الله عليه وسلم قال :" لا تساكنوا المشركين و لا تجامعوهم فمن ساكنهم أو جامعهم فهو مثلهم ".
Artinya: Dari Samurah bin Jundub Radliyallahu 'anhu dari Nabi Shalalahu 'alaahi wa Salam, ia bersabda: “Janganlah kalian tinggal bersama orang-orang musyrik, dan jangan pula bercampur-baur dengan mereka. Barangsiapa yang tinggal bersama mereka atau bercamputr-baur dengan mereka maka ia seperti mereka.” (HR. at-Turmudzy no. 1604, Abu Dawud no. 2787. hadits ini sanadnya dla’ifkan tetapi menjadi kuat dengan hadits sebelumnya. Lihat catatan kaki Zaadul Ma’aad 3/123) عن ابن السّعدي رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :" لا تنقطع الهجرة ما قوتل العدوّ ."
Artinya: Dari Ibnu Sa’dy Radliyallahu 'anhu ia berkata:” Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam bersabda: “Hijrah itu tidak akan terputus selama musuh diperangi.” (HR. Ahmad 5/270, lihat foot note Zaadul Maa’ad 3/123)
Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda عن جنادة بن أبي أميّة رضي الله عنه أنّ رجلاً من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم قال بعضهم :" الهجرة قد انقطعت " فاختلفوا في ذلك :فانطلقت إلى رسول الله فقلت :" يا رسول الله صلى الله عليه وسلم إن ّ ناسًا يقولون إنّ الهجرة إن ّ الهجرة قد انقطعت فقال رسول الله :" إنَّّ الهجرة لا تنطع ما كان الجهاد ". Artinya: Dari Junadah bin Abi Umayyah Radliyallahu 'anhu, bahwasanya sebagian dari Shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berkata: “Hijrah telah terputus,” mereka pun berselisih pendapat dalam perkara tersebut. Maka aku mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam lalu bertanya kepada beliau: “Ya Rasulullah, sesungguhnya orang-orang menyatakan bahwa hijrah telah terputus.” Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Hijrah itu telah terputus selama masih ada jihad.” (lihat Majmu’ az-Zawaid) Bab. IV PEMBAGIAN HIJRAH
Secara umum, hijrah itu ada dua bentuk, yaitu dhahir dan bathin. Hijrah bathin adalah meninggalkan apa-apa yang mengundang kepada nafsu yang menyuruh kepada kejahatan dan nafsu syaithany. Sedangkan hijrah dhahir adalah melarikan diri dengan membawa diennya dari fitnah. (lihat ‘Aunul Ma’bud 7/157)
Dua makna di atas sesuai dengan sabda Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :" إنّ الهجرة خصلتان إحدهما أن تهجر السّيّئات و الأخرى أن تهجر إلى الله و رسوله ".
Artinya: “Sesungguhnya hijrah itu ada dua bagian, pertama ialah engkau meninggalkan berbagai kejahatan dan yang kedua adalah behwa engkau hijrah kepada Allah 'Azza wa jalla dan Rasul-Nya.” (HR. Ahmad 1/192. hadits ini sanadnya hasan menurut syaikh al-Aranauth, lihat catatan kaki Jami’ul Ushul fie Ahaditsir Rasul 11/606)
Adapun secara khusus, hijrah terbagi menjadi enam macam, yaitu: 1. Hijrah dari daril harb menuju darul islam. Hijrah semacam ini menjadi wajib hukumnya pada masa Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam dan tetap menjadi wajib sampai datangnya hari Kiamat. Sedangkan hijrah yang tidak wajib dengan adanya fath Makkah adalah hijrah menyusul Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam, maka barangsiapa yng telah menjadi muslim sedangkan ia tinggal di darul harb, wajib baginya untuk keluat menuju darul islam. Dan jika ia masih tetap tinggal di dalamnya, maka ia telah bermaksiat berdasarkan kondisi dirinya. 2. Keluar dari ardlul bid’ah (wilayah orang-orang yang berbuat bid’ah). Imam Ibnul Qasim berkata: “Saya pernah mendengar Imam Malik Rahimahullah berkata " لا يحلّ لأحد أن يقيم ببلد شبّ فيها السّلف ".
Artinya: “Tidak halal bagi seorang untuk tinggal di suatu negeri yang di dalamnya ada caci-maki terhadap salaf.”
Imam Ibnul ‘Araby berkata: “Dan ini benar, karena sesungguhnya kemungkaran itu apabila engkau tidak mampu merubahnya, maka tinggalkanlah dia.” (Al-Jami’ lie Ahkamil Qur’an 5/350)
Allah Ta'ala berfirman قل :" وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي ءَايَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ ".
Artinya:”Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (maka larangan ini), janganlah kamu duduk bersama orang. orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (lihat QS. Al-An’aam: 68) 3. Keluar dari bumi yang sebagian besar keharaman bercokol di atasnya. Karena sesungguhnya mencari yang halal itu hukumnya wajib bagi setiap muslim. 4. Melarikan diri karena adanya siksaan fisik. Hal itu merupakan karunia dari Allah Ta'ala yang dia berikan berupa keringanan bagi para hamba-Nya. Oleh karena itu apabila orang mengkhawatirkan dirinya, jika tinggal di suatu tempat, maka Allah Ta'ala telah mengizinkan baginya untuk keluar dari tempat tersebut dan lari menyelamatkan diri dari bahaya tersebut. Sedangkan orang yang pertama kali melakukannya adalah Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam. Ketika beliau takut dari bahaya kaumnya, maka beliau mengucapkan إنّي مهاجر إلى ربّي (artinya): “sesungguhnya saya akan berhijrah ke (tempat yan diperintahkan oleh) Rabbku.” (lihat QS. Al-Ankabut: 26)
Dan Nabi Ibrahim ‘Alahis salam juga mengucapkan إنّي ذاهب إلى ربّي سيهدين artinya: “Sesungguhnya aku pergi menghadap Rabbku, Dia akan memberikan hidayah kepadaku.” (lihat QS. As-Shaffat: 99) dan begitu juga dengan Nabi Musa ‘Alahis Salam sebagai mana yang Allah Ta'ala firmankan قال تعالى :" فَخَرَجَ مِنْهَا خَآئِفًا يَتَرَقَّبُ قَالَ رَبِّ نَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ ".
Artinya: “Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir, dia berdo'a:"Ya Rabbku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu." (lihat QS. al-Qashash: 21) 5. Takut akan penyakit yang menimpa di negeri yang dihuni, lalu pindah ke negeri yang tidak diserang oleh wabah penyakit itu. 6. Melarikan diri karena takut musibah yang menimpa hartanya, sebab keharaman harta seorang muslim itu seperti keharaman darahnya, sehingga keluarnya itu lebih utama.
Namun demikian, bahwa hijrah yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah jenis yang pertama, yaitu keluar/pindah dari darul harb/kufri/ syirk. Dan para Ulama’ mengatakan bahwa hijrah dari darul harbi menuju darul islam akan tetap berlaku sampai datangnya hari Kiamat. (Ke-enam macam hijrah ini dalam kitab Ahkamul Qur’an 1/484-486 dan al-Jami’ lie ahkamil Qur’an 5/349-350)
Bab. V FASE-FASE DIWAJIBKANNYA HIJRAH
v Dalam beberapa masa tinggal di kota Makkah yang keadaan kaum muslimin sangat lemah, mereka belum diperkenankan hijrah serta menjadikannya sebagai program solving bagi mereka. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengabarkan kepada mereka bahwa Allah Ta'ala telah memberikan jalan keluar dengan hijrah. Belaiu membacakan firman Allah Ta'ala قال تعالى :" وَمَن يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللهِ يَجِدْ فِي اْلأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً وَمَن يَخْرُجْ مِن بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللهِ وَكَانَ اللهُ غُفُورَا رَّحِيمًا ".
Artinya: “Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya disisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. an-Nisaa’: 100) .
Dan beliau perintahkan kepada para Shahabatnya untuk berhijrah ke negeri Habasyah, kemudian mereka berangkat dari Makkah menuju Habasyah. (lihat Al-‘Umm 4/160) Ummu Salamah Radliyallahu 'anha berkata: “Akhirnya kami keluar dari negeri Habasyah satu persatu sampai kami berkumpul di negeri tersebut. Kami pun tinggal di sana dan mendapatkan tempat yang baik lagi aman dalam menjalankan ajaran dien kami. Dan kami tidak khawatir akan kedhaliman yangmenimpa kami di negeri tersebut.” (lihat Al-Bidayah wan Nihayah 3/79) v Setelah penduduk Madinah menyatakan keislamannya dengan berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, maka beliau memerintahkan sekelompokdari Shahabatnya untuk berhijrah ke tempat mereka, dan tidak berdosa bagi mereka yang tetap tinggal di Makkah karena tidak hijrah ke Madinah. (Al-‘Umm 4/160) Imam Ibnu Ishaq meriwayatkan: “Maka ketika kaum ‘Anshar berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam untuk melindungi kaum muslimin, maka beliau memerintahkan para Shahabatnya dari kaum Muhajirin dan kaum muslimin yang tinggal di Makkah lainnya untuk keluar ke Madinah dan berhijrah ke negeri tersebut serta menjumpai ikhwan-ikhwan mereka mereka dari kaum ‘Anshar, maka beliau bersabda: ”Sesungguhnya Allah Ta'ala telah menyediakan untuk kalian ikhwan-ikhwan dan tempat-tempat tinggal yang kalian akan merasa aman tinggal di dalamnya.” Lalu mereka keluar satu-persatu, sedangkan Rasulullah Shalalahu 'alaahi wa Salam tetap tinggal di Makkah untuk menanti izin dari Rabbnya untuk hijrah ke negeri Madinah. (As-Sirah an-Nabawiyah , Ibnu Hisyam 1/468)
v Selang beberapa lama kemudian, maka Allah Ta'ala mengizinkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam untuk hijrah ke Madinah dan tidak diharamkan atas orang-orang yang masih berada di Makkah untuk tetap tinggal di sana yang ketika itu Makkah masik berstatus darus syirki, meskipun jumlah kaum muslimin yang sedikit itu tatap mendapat tekanan, ujian, fitnah namun mereka belum diizinkan untuk berjihad, lalu mewajibkan mereka meninggalkan negeri tersebut. (lihat Al-‘Umm 4/160)
v Ketika jihad telah Allah Ta'ala wajibkan atas Rasul-Nya, maka beliau pun memerangi orang-orang musyrik an banyak melukai penduduk Makkah sedangkan kaum musyrikin melihat banyaknya masuk ke dalam dienul islam dengan berbondong-bondong, maka mereka berlaku keras terhadap orang-orang yang menyatakan muslim sehingga orang-orang tersebut mendapatkan fitnah terhadap dien mereka. Oleh karena itu Allah Ta'ala memberikan udzur kepada orang-orang tersebut yang belum mampu berhijrah. Sebagaimana firman-Nya قال تعالى :" مَن كَفَرَ بِاللهِ مِن بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِاْلإِيمَانِ وَلَكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ ". Artinya: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orangyang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (lihat QS. An-Nahl: 106)
v Setelah itu Rasulullah Shalalahu 'alaahi wa Salam mengutus seorang kepada mereka untuk menyampaikan: “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menjadikan jalan keluar bagi kalian dan telah mewajibkan keluar atas orang-orang yang mampu berhijrah jika ia termasuk orang yang mendapat fitnah terhadap diennya dan tidak ada halangan dan menjalankannya.” Kemudian beliau katakan kepada orang yang meninggal dalam keadaan tidak mau melakukan hijrah, sebagaimana firman Allah Ta’ala: إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلاَئِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي اْلأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُوْلاَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya:"Dalam keadaan bagaimana kamu ini". Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para Malaikat berkata:"Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah dibumi itu". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali,” (lihat QS. An-Nisaa’: 97, dalam kitab al-‘Umm 4/161) Imam an-Nasafy berkata: “Ayat ini menyatakan bahwasanya barangsiapa yang tidak mungkin bagi dirinya untuk melaksanakan iqamatud dien di negeri lain, maka ia sudah berhak untuk melaksanakan hijrah.” (lihat Madarik at-Tanzil wa Haqa’iq at-Ta’wil 1/277)
v Dan Allah Ta’ala pun telah menjelaskan udzur orang-orang yang tidak mampu berhijrah dengan firman-Nya قال تعالى :" فَأُوْلاَئِكَ عَسَى اللهُ أَن يَعْفُوَعَنْهُمْ وَكَانَ اللهُ عَفُوًّا غَفُورًا - وَمَن يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللهِ يَجِدْ فِي اْلأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً وَمَن يَخْرُجْ مِن بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللهِ وَكَانَ اللهُ غُفُورَا رَّحِيمًا ".
Artinya: “Mereka itu, mudah-mudahan Allah mema'afkannya. Dan adalah Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya disisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (lihat QS. An-Nisaa’: 99-100, dalam al-‘Umm 4/161)
v Maka ketika terjadi fath Makkah dan orang-orang di seluruh kabilah telah menjadikan islam sebagai diennya, kewajiban hijrah menjadi gugur dan hukumnya tetap mustahab. (Fathul Baary /290)
Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Abbas Radliyallahu 'anhuma bahwasanya Rasulullah Shalalahu 'alaahi wa Salam bersabda قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :" لا هجرة بعد الفتح و لكن جهاد و بية ، و إذا استنفرتم فانفروا ".
Artinya: “Tidak ada hijrah sesudah Fath Makkah, akan tetapi jihad dan niat. Dan apabila kalian diperintahkan untuk berperang maka berperanglah.” (HR. al-Jama’ah, dalam kitab Jami’ al-Ushul fie Ahadits ar-Rasul 2/565)
Imam Ibnu Hajar al-Asqalany berkata: “Makna sesungguhnya kewajiban hijrah itu terputus dengan adanya fath Makkah, bahwasanya Makkah telah menjadi darul islam. (lihat Fathul Baary 4/58)
Dan hadits ini mengisyaratkan bahwa selain Makkah hukumnya sama seperti itu, maka tidak wajib melakukan hijrah di negeri yang sudah ditaklukkan oleh kaum muslimin. (lihat Fathul Baary 6/233)
v Adapun setelah masa Rasulullah Shalalahu 'alaahi wa Salam maka kewajiban hijrah berlaku atas orang islam yang berada di darul harbi, bukan di negeri yang ditempati oleh imam, hal ini berdasarkan situasi dan kondisi tiap pribadi.
Bab. VI SEBAB-SEBAB DISYARI’ATKANNYA HIJRAH
Setelah melihat fase yang terjadi pada masa Rasulullah Shalalahu 'alaahi wa Salam, maka dari ‘illah yang ada dapat kita perhatikan dan diambil kesimpulan bahwa hijrah disyari’atkan karena tiga sebab, dua sebab berkaitan dengan individu, sedangkan sebab yang lain berkaitan dengan jama’ah. Adapun sebab-sebab itu adalah:
1. Bahwasanya tidak boleh bagi seorang muslim untuk tinggal di suatu negeri yang di dalamnya ia tertindas kebebasan dien dan pribadinya. Maka setiap muslim yang ada di suatu tempat yang mendapatkan fitnah terhadap diennya, atau dilarang untuk iqamatud dien di dalamnya sebagaimana yang ia yakini, maka wajib atas dirinya untuk berhijrah dari tempat tersebut kemana saja ia dapat mendapatkan kebebasan dalam bertindak dan iqamatud dien. Dan kalau tidak mau, maka tinggalnya ia di tempat itu adalah maksiat. Dan kalu tidak mendapatkan perlakuan seperti di atas, maka boleh baginya untuk tinggal di tempat tersebut. (lihat Tafsir al-Manar 5/361)
Sebagaimana yang dituturkan oleh ummul Mukminin’ ‘Aisyah Radliyallahu 'anha ketika ditanya masalah hijrah oleh ‘Atha’ bin Abi Rabah ‘Ubaid bin ‘Umair al-Laitsy, maka beliau berkata: “Adalah orang-orang yang beriman, salah satu dari mereka lari dengan membawa diennya kepada Allah Ta'ala dan Rasul-Nya Shalallahu 'alaihi wasallam karena takut terkena fitnah atas dirinya. Adapun sekarang, maka Allah Ta'ala telah menampakkan islam. Dan pada hari ini, seorang beribadah kepada Rabbnya dengan sesuka hatinya, akan tetapi yang ada hanyalah jihad dan niat.” (HR. al-Bukhary no. 3900)
Ibnu Hajar al-Asqalany berkata: “’Aisyah Radliyallahu 'anha memberikan isyarat akan keterangan disyari’atkannya hijrah, sebabnya adalah takut fitnah. Dan hukum itu berputar dengan ‘illah (sebab) yang ada, maka konsekwensinya adalah barangsiapa yang sanggup beribadah kepada Allah Ta'ala di tempat manapun yang disepakati, tidak wajib bagi dirinya untuk hijrah dari tempat tersebut dan kalau tidak, maka wajib atas dirinya berhijrah. (lihat Fathul Baary 7/290)
Imam asy-Syafi’e berkata و دلّت سنّة رسول الله صلى الله عليه وسلم على أنّ فرض الهجرة على من أطاقها إنّما هو على من فتن عن دينه بالبلد الّذي يسلمبها لأنّ رسول الله صلى الله عليه وسلم أذن لقوم بمكّة أن يقيموا بها بعد إسلامهم العبّس بن عبد المطلّب و غيره إذ لم يخافوا الفتنة
Artinya: “Dan sunnah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam telah menunjukkan bahwa kewajiban hijrah berlaku atas orang yang sanggup melaksanakannya, yaitu atas orang yang terkena fitnah terhadap diennya di negerinya yang di situ dia menyatakan keislaman, sebab Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam telah mengizinkan suatu kaum untuk tinggal di Makkah setelah keislaman mereka, yaitu ‘Abbas bin Abdul Muthalib dan selainnya, jika mereka tidak takut akan fitnah. (lihat al-Umm 4/161)
2. Karena menuntut ilmu dien dan mendalaminya. Ini terjadi pada zaman Nabi Shalalahu 'alaahi wa Salam, khususnya pada waktu diutusnya para da’i dan mursyid oleh beliau Shalalahu 'alaahi wa Salam di dapatkannya udzur dari kuatnya kaum musyrikin dari kaum muslimin. Dan karena ulah mereka yang selalu menghalangi uةmat isalam dari dakwah. Dan tidak boleh bagi orang yang telah menyatakan islam untuk tinggal di suatu tempat yang tidak ada Ulama’ yang mengetahui hukum-hukum islam, bahkan wajib untuk hijrah ke tempat yang dapat belajar dienul islam dan menuntut ilmu yang lainnya. (lihat Tafsir al-Manar 5/361) Imama Ibnu Hajar al-Asqalany berkata: “Hijrah itu dapat dilakukan karena melarikan diri dari kaum kafir, atau karena jihad, atau karena menuntut ilmu. Dan hijrah karena sebab yang pertama terputus, maka dari itu pergunakanlah kesempatan untuk mendapatkan dua sebab yang lain.” (lihat Fathul Baary 4/58)
3. Sebab yang berkaitan dengan jama’ah muslimin yaitu wajib atas komunitas muslim untuk memiliki jama’ah atau daulah yang kuat, yang mampu menyebarkan dakwah islam, menegakkan hukum-hukum dan had-hadnya, mampu menjaga kemurnian ajarannya serta melindungi para da’inya, menaklukkan aniaya orang-orang yang bertindak semena-mena, dan dari permusuhan orang-orang yang memusuhinya serta kedhaliman orang-orang yang dhalim. Maka jika jama’ah atau hukumah ini lemah khawatir akan jajahan atau serangan musuh atas mereka, maka wajib atas kaum muslimin dimana pun berada dan bertempat tinggal untuk mengokohkan kekuatannya sampai menjadi kuat dan mampu menjalankan apa yang wajib atas mereka. Dan jika harus bergantung kepada hijrah untuk menjauhi jajahan atau serangan musuh tersebut, maka wajib qath’ie hukumnya bagi mereka untuk melaksanakannya tanpa ada tawar-menawar lagi. Dan kalau tidak berarti telah ridla dengan kelemahannya dan telah membantu musuh-musuh islam dalam mematahkan dakwah dan merendahkan kalimat islam. Dan ketiga sebab ini sudah terwujud sebelum adanya fath Makkah, maka ketika terjadi fath Makkah islam pun menjadi kuat di atas kesyirikan di bumi jazirah Arab seluruhnya dan manusia masuk ke dalam dienullah dengan berbondong-bodong, sedangkan Nabi Shalalahu 'alaahi wa Salam senantiasa mengutus orang-orang yang mengajarkan syari’at islam ke segala penjuru, sehingga gugurlah kewajiban hijrah karena sudah aman dari fitnah serta mampu untuk iqamatud dien. Sedangkan sebab karena untuk bertafaqquf fieddin jarang ditemukan, dan begitu juga kewajiban hijrah untuk memperkuat dan menolong jama’ah al-Muslimin dari musuh-musuhnya ikut menjadi gugur. Dan karena inilah Nabi Shalalahu 'alaahi wa Salam bersabda قال رسول الله صلّى الله عليه و سلّم :" لا هجرة بعد الفتح و لكن جهاد و نية و إذا استنفرتم فانفروا ". Artinya: “Tidak ada hijrah sesudah fath Makkah akan tetapi jihad dan niat, dan apabila kalian diperintahkan untuk berperang maka berperanglah.” (HR. al-Jama’ah dalam Jamu’ul Ushul fie Ahadits ar-Rasul 2/565)8
Dan termasuk dalam hal yang tidak dipersesisihkan lagi, bahwasanya hijrah tetap wajib karena adanya ketiga sebab di atas, sebagaimana wajibnya safar dalam rangka berjihad apabila sebab-sebab yang ada sudah terwujud. (lihat Tafsir al-Manar 5/361-362) Rasulullah Shalalahu 'alaahi wa Salam bersabda قال رسول الله صلّى الله عليه و سلّم :" إنّ الهجرة لا تنقطع Artinya: “Sesungguhnya hijrah itu tidak terputus selama ada jihad.” (HR. Ahmad dalam Majma’ az-Zawaaid 5/251, Imam al-Haitsamy berkata: “Para perawinya adlah tsiqah.”) Bab. VII FAKTOR-FAKTOR DAN TUJUAN-TUJUAN HIJRAH
Sesungguhnya hijrah mempunyai faktor-faktor dan tujuan-tujuan, jika terdapat faktor-faktor dan tujuan-tujuannya maka terdapatlah hijrah, dan jika hilang faktor-faktornya maka hilanglah hijrah. Faktor-faktor dan tujuan-tujuan hijrah yang paling penting antara lain, yaitu: 1. Keselamatan beribadah dan beragama.
Faktor yang terpenting dalam hijrah adalah menjaga keselamat beribadah dan beragama, serta keikhlasan beribadah untuk Allah Ta'ala, ketika seorang hamba dipersempit dalam beragama dan beribadah serta dilarang untuk menampakkan agamanya dan mengerjakan amalan-amalan yang diwajibkan kepadanya maka ditetapkan baginya berhijrah menuju tempat yang ia dapatkan untuk menjaga diennya dan menjaga ibadahnya kepada Allah Ta'ala. Hal itu disebabkan Allah Ta'ala menciptakan seseorang hanya untuk beribadah kepada-Nya, beribadahnya seorang hamba kepada Allah Ta'ala adalah tujuan yang agung dari keberadaannya dan penciptaannya, sebagaimana firman Allah Ta'ala قال تعالى :" وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ ".
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (lihat QS. adz-Dzariyat: 56) Pada ayat ini terdapat peniadaan yang sesudahnya pengecualiannya yang memberikan faidah hasr dan qasr. Maksudnya adalah sesungguhnya Allah Ta'ala tidak menciptakan jin dan manusia untuk sesuatu hal selama-lamanya melainkan hanya untuk beribadah kepada-Nya semata. Sebagaimana firman Allah Ta'ala قال تعالى :" وَمَآأُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا إِلَهًا وَاحِدًا لآإِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ ".
Artinya: “…… padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.“ (lihat QS. at-Taubah: 31) قال تعالى :" وَمَآأُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ ". Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam(menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.“ (lihat QS. al-Bayyinah: 5)
Maksud ayat di atas adalah tidaklah mereka diperintahkan kepada sesuatu selama-lamanya selain hanya untuk melaksanakan satu perkara saja yaitu beribadah hanya kepada Allah Ta’ala dan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, bukan mensekutukan-Nya dengan sesuatu.
Yang dimaksud dengan ibadah di sini adalah secara umum, yaitu segala sesuatu yang dicintai dan diridlai oleh Allah baik berupa perkataan dan perbuatan.
Inilah tujuan penciptaan manusia yang wajib baginya untuk hidup dengan tujuan yang agung ini, dan dengannya terjadi perdamaian dan peperangan, pembebasan dan perpisahan (hijrah) sehingga seseorang akan tinggal di daerah yang ia tempati jika terealisasi keselamatan beribadah dan beragama baginya dan seseorang akan berhijrah dari tempatnya ketika hilang keselamatan beribadah dan beragama darinya. Allah Ta'ala berfirman قال تعالى :" يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ أَرْضِي وَاسِعَةٌ فَإِيَّايَ فَاعْبُدُونَ ". Artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku saja.“ (lihat QS. al-Ankabut: 56) Maksudnya adalah Sesungguhnya Allah Ta'ala meluaskan bumi agar manusia bertempat tinggal di atasnya untuk beribadah kepada Allah Ta'ala, jika seseorang ditekan, dirampas, dan dipersempit hak-haknya dalam beribadah kepada Allah dalam suatu tempat, maka ia akan mendapatkan tempat yang di dalamnya sehingga ia dapat beribadah kepada Allah Ta'ala, dan hendaknya ia tidak meminta udzur untuk tidak beribadah kepada Allah Ta'ala dengan sempitnya tempat tinggal. Imam Mujahid berkata: “Sesungguhnya bumi Allah Ta'ala itu luas, maka berhijrah dan berjihadlah di dalamnya.”
Imam Sa’id bin Jubair berkata: “Apabila suatu kemaksiatan telah tersebar di belahan bumi, maka keluarlah darinya karena sesungguhnya bumi Allah Ta'ala itu sangat luas.” Imam ‘Atha’ berkata: “Apabila kalian diperintahkan untuk bermaksiat, maka larilah dari kemaksiatan itu karena bumi Allah Ta'ala itu luas. Dan begitu juga wajib bagi setiap orang ada di dalam negerinya tersebar kemaksiatan dan tidak memungkinkan baginya untuk merubahnya, untuk berhijrah ke suatu tempat yang memungkinkan baginya untuk beribadah kepada Allah Ta'ala.
Mutharif bin Abdillah berkata: “Bumi Allah itu luas, maksudnya ialah rizki Allah Ta'ala itu luas untuk kalian, maka keluarlah (mencari tempat yang lebih aman untuk beribadah).” (lihat Tafsir al-baghawy 3/472) I
bnu Katsir berkata: “Rasulullah Shalalahu 'alaahi wa Salam bersbda: “Suatu negeri adalah negeri Allah Ta'ala dan seorang hamba adalah hamba Allah Ta'ala, maka di bumi manapun yang terdapat kebaikan di dalamnya hendaknya ia berhijrah ke daerah tersebut.” Ketika kaum muslimin di Makkah merasa kesulitan untuk beribadah kepada Allah, maka para muhajir berhijrah ke negeri Habayah, untuk mendapatkan keamanan agamanya, maka mereka mendapatkan sebaik-baik tempat tinggal di sana yang diperintah oleh raja Najasyi, yang telah menolong kaum Muhajirin dengan pertolongannya.” (Tafsir al-Qur’anul ‘Adhim 3/430) Allah Ta'ala berfirman قال تعالى :" قُلْ يَاعِبَادِ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَاحَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ ".
Artinya: “Katakanlah:"Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertaqwalah kepada Rabbmu".Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan.Dan bumi Allah itu adalah luas.Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala tanpa batas.” (Lihat QS. az-Zumar: 10)
Imam Ibnu Katsir berkata: “Maksud dari firman Allah Ta'ala (Dan bumi Allat itu luas), Imam Mujahid berkata: “Maka berhijrahlah kalian di dalamnya, dan berjihadlah serta tinggalkanlah berhala-berhala.” (lihat Tafsir al-Qur’anul Adhim: 4/52)
Imam Syarik berkata: dari Manshur dari ‘Atha’ ia berkata: “Apabila kalian diajak untuk bermaksiat, maka larilah darinya.” Allah Ta'ala berfirman قال تعالى :" إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلاَئِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي اْلأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُوْلاَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَآءَتْ مَصِيرًا ".
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya:"Dalam keadaan bagaimana kamu ini". Mereka menjawab:"Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para malaikat berkata:"Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah dibumi itu". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali,” (lihat QS. an-Nisaa’: 97)
Allah Ta'ala juga berfirman قال تعالى :" وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ ءَايَاتِ اللهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلاَ تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِّثْلُهُمْ إِنَّ اللهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا ".
Artinya: “Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam jahannam,” (QS. an-Nisaa’: 140)
Allah Ta'ala menjadikan dan menguhukumi orang yang duduk bersama mereka (orang yang kafir) yang tidak mengingkarinya dengan firman-Nya فإنّهم مثلهم artinya: “sesungguhnya mereka (orang yang duduk bersama orang kafir) sama seperti orang kafir.” Jika mereka kafir maka dia kafir sama seperti mereka, jika mereka dhalim atau fasiq maka mereka yang mengikuti mereka itu juga dhalim atau fasiq.
2. Keselamatan jiwa.
Ketika seseorang mendapati dirinya mendapati dirinya dalam keadaan terancam oleh orang-orang dhalim, dan tidak meiliki kemampuan untuk mencegah kedhaliman, maka baginya hijrah untuk mencari keselamatan sampai ia mendapatkan keamanan, baik untuk dirinya dan keluargannya.
Keringanan bagi seorang muslim mengerjakan beberapa perkara demi menjaga dirinya dari kesengsaraan dan kematian, yaitu: v Mengerjakan sebagian larangan untuk untuk mencegah kesengsaraan jiwa, seperti orang yang berjalan di padang pasir yang kehilangan jejak ke arah mata air, lalu ia tidak mendapatkan air selain khamer, maka boleh baginya meminumnya yang memungkinkan dengan meminumnya dapat menghantarkan ia ke tempat yang ada mata airnya. Begitu pula apabila ia akan meninggal dunia karena kelaparan, dan ia tidak mendapatkan makanan apapun kecuali bangkai atau daging babi, maka boleh baginya memakan bangkai atau daging babi itu sebatas menegakkan tulang punggungnya agar sampai ke suatu tempat yang terdapat di dalamnya makanan yang halal, sebagaimana firman Allah Ta'ala قال تعالى :" وَمَالَكُمْ أَلاَّتأَكْلُوُا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَّاحَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلاَّ مَااضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ وَإِنَّ كَثِيرًا لَّيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِالْمُعْتَدِينَ ".
Artinya: “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.” (lihat QS. al-An’aam: 119)
Dan firman-Nya قال تعالى :" إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَآأُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ ".
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (lihat QS. al-Baqarah: 173)
Dari ayat di atas dan lainnya, para Ahlul Ilmi menyimpulkan perkara tadi di dalam sebuah Qaidah Fighiyah yaitu الضرورات تبيع المحضورات . v Mengucapkan kata-kata kekufuran, akan tetapi hatinya tetap tenag dengan keimanan walaupun dalam pembunuhan atau lainnya, sebagaimana firman Allah Ta'ala قال تعالى :" مَن كَفَرَ بِاللهِ مِن بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِاْلإِيمَانِ وَلَكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمُُ ". Artinya: “Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertaqwalah kepada Rabbmu".Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan.Dan bumi Allah itu adalah luas.Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala tanpa batas.” (QS. an-Nahl: 106)
Contohnya adalah Shahabat ‘Ammar bin Yasir yang ditawan dan disiksa oleh orang-orang musyrik, mereka tidak menghentikan siksanya sampai beliau mencaci Rasulullah Shalalahu 'alaahi wa Salam, tetapi di dalam hatinya ada ketenangan dalam beriman. v Hijrah menuju negeri kafir, jika tidak menemukan jalan untuk mencegah kehancuran jiwa dan keluarganya. Sebagaimana yang dialamai oleh sebagian Shahabat yang yang diperintahkan oleh Rasulullah Shalalahu 'alaahi wa Salam untuk berhijrah ke negeri Habasyah.
Dan sesungguhnya az-Zuhry Muhammad bin Muslim bin Syihab berazam apabila Hisyam bin Abdul Malik meninggal, maka ia akan tinggal di negeri Romawi, karena al-Walid bin Yazid bernadzar untuk membunuhnya dan al- Walid adalah pemimpin pengganti Hisyam setelah kematiannya.
3. Penyatuan kekuatan kaum muslimin, dan melemahkan kaum musyrikin.
Dari faktor dan tujuan hijrah juga menguhindupkankewjiban jihad, dan penyatuan kekuatan muslim. Maka hijrah dan jihad adalah dua sisi yang tidak dapat dipisahkan karena saling berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya, salah satu dari keadaannya sebab adanya bagian yang lain. Sebagaimana firman Allah Ta'ala قال تعالى :" إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللهِ وَالَّذِينَ ءَاوَوْا وَّنَصَرُوا أُوْلَئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ ......".
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung melindungi ……” (lihat QS. al-Anfaal: 72)
Dan firman-Nya juga قال تعالى :" إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ أُوْلاَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللهِ وَاللهُ غَفُورُُ رَّحِيمُُ ". Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (lihat QS.al-Baqarah: 218)
Dan firman-Nya juga قال تعالى :" الَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِندَ اللهِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْفَآئِزُونَ ".
Artinya: “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan.” (QS. at-Taubah: 20)
Rasulullah Shalalahu 'alaahi wa Salam bersabda قال رسول الله صلّى الله عليه و سلّم :" لا هجرة بعد الفتح و لكن جهاد و نية و إذا استنفرتم فانفروا ".
Artinya: “Sesungguhnya hijrah itu tidak terputus selama masih ada jidah.” (HR. Ahmad, dalam Shahihul Jami’ no. 1991)
juga sabdanya قال رسول الله صلّى الله عليه و سلّم :" إنّ الهجرة لا تنقطع ما كان الجهاد ". Artinya: “Hijrah itu tidak akan terputus samapi terputusnya taubat, dan taubat tidak akan terputus sampai terbitnya matahari dari arah tenggelamnya (barat). (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dalam Shahihul Jami’ no. 7469)
Bab. VIII HUKUM HIJRAH
Sudah menjadi kesepakatan kaum muslimin, bahwa seseorang tidak wajib untuk hijrah dari suatu negeri yang telah ditaklukkan oleh ummat islam. (lihat Fathul Baary 6/234) Namun apabila negeri tersebut belum ditaklukkan oleh kaum muslimin berarti masih berstatuskan darul harb, darul kufri, atau darus syirk sebagaimana halnya Makkah sebelum terjadinya fath Makkah pada tahun 8 hijriyah, lalu bagaimanakah hukum orang yang msih muqim/tinggal di negeri tersebut, setelah masa Rasulullah Shalalahu 'alaahi wa Salam yang negeri itu masih berstatuskan darul harb atau darul kufri atau darus syirk ?
Oleh karena itu untuk mendudukkan masalah di atas ada beberapa tipe manusia dalam masalah wajib dan tidaknya hijrah, berdasarkan situasi dan kondisi tiap-tiap pribadi. Syaikh Abu Basyir berkata: “Hukum hijrah dibagi menjadi 4 macam, yaitu: wajib, mustahab, haram, dan hijrah yang tidak wajib dan tidak mustahab.” (lihat al-Hijratu Masaa’ilu wa Ahkam hal. 24) Hijrah yang hukumnya wajib
Orang yang mampu untuk hijrah dari negeri tersebut yaitu orang yang tidak mungkin bagi dirinya untuk terang-terangan menampakkan diennya dan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya, maka hukumnya wajib. (lihat Fathul Baary 6/233) Haram baginya untuk muqim/tinggal di sana dan wajib baginya berhijrah ke darul islam. Adapu jika dia belum mampu untuk hijrah, maka dia diberikan udzur sampai dia sanggup melaksanakannya. Namun jika negeri yang ia tempati itu sudah dapat ditaklukkan oleh kaum muslimin sebelum dia sempat berhijrah, maka gugur kewajiban hijrah atas dirinya. (lihat al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab 21/5) Dalil-dalil yang mewajibkan hijrah dalam kondisi ini Firman Allah Ta'ala (lihat QS. an-Nisaa’: 97)
Rasulullah Shalalahu 'alaahi wa Salam bersabda قال رسول الله صلّى الله عليه و سلّم :" من جامع المشرك و ساكن معه فإنّه مثله ".
Artinya: “Barangsiapa yang berkumpul dengan orang musyrik dan tinggal bersama mereka, maka sesungguhnya ia seperti mereka (orang musyrik).”
Dalil di atas memberikan faidah wajibnya hijrah, ketika seorang muslim tidak bisa menampakkan diennya di negeri yang ia tempati. (lihat al-Hijrah Masaail wa Ahkam hal. 25) Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata: “Ini adalah ancaman keras yang menunjukkan kepada wajib, karena menjalankan kewajiban diennya merupakan kewajiban bagi orang yang sanggup melaksanakannya. Sedangkan hijrah termasuk kewajiban yang amat diperlukan dalam sebagai pelengkap kewajiban itu sendiri, suatu kewajiban yang tidak dapat sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu adalah wajib.”
Adapun sebab diturunkannya QS. an-Nisaa’: 97 itu bahwasanya ada beberapa orang dari penduduk Makkah yang telah masuk islam, namun menyembunyikan keislamannya. Sehingga pada saat terjadinya perang Badar kaum musyrikin memaksa orang-orang tadi keluar bersama mereka (untuk memerangi kaum muslimin yang ada di Madinah), maka diantara mereka ada yang gugur dan terbunuh. Berkatalah kaum muslimin yang tinggal bersama Rasulullah Shalalahu 'alaahi wa Salam: “Sungguh mereka yang terbunuh itu adalah shahabat-shahabat kita yang telah masuk islam, tetapi mereka dipaksa untuk berperang. Oleh karena itu mintalah ampunan untuk mereka.” Mak turunlah ayat itu. (lihat ad-Dur al-Mantsur fie Tafsir al-Ma’tsur 2/646)
Imam al-Hafidz Ibnu Katsir Rahimahullah berkata: “Turunnya ayat ini bersifat umum kepada setiap orang yang muqim/tinggal di tengah-tengah kaum musyrikin, sedangkan ia sanggup untuk berhijrah dan tidak memiliki kemungkinan untuk iqamatud dien, maka ia telah mendhalimi dirinya sendiri, dia telah melanggar keharaman berdasarkan ijma’ dan nash dari ayat di atas.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-Adhim 1/670)
As-Syahid Muhammad Rasyid Ridha Rahimahullah berkata: “Para Fuqaha’ telah berselisih pendapat tentang hukum hijrah dari negara-negara kafir ke negara islam, seperti di masa kita ini. Berdasarkan ‘illah atas wajibnya hijrah yang terjadi di masa diturunkannya syari’at. Sesungguhnya hijrah pun wajib hukumnya pada setiap waktu dan tempat seperti ‘illah yang telah disebutkan. Maka tidak boleh bagi seorang mukmin untuk muqim/tinggal di negeri yang menjadikan diennya itu mendapat fitnah, seperti disiksa apabila ia berkata terang-terangan atas keyakinannya atau atas amalan yang wajib bagi dirinya untuk dilaksanakan meskipun penguasa negeri tersebut dari golongan muslim. Dan karena sebab itu sehingga kaum muslimin tidak mampu berbuat terang-terangan, baik secara lisan maupun tulisan dari setiap yang ia yakininya serta tidak berkuasa untuk menjalankan kewajiban amar ma’ruf dan nahi mungkar dalam hal-hal yang sudah menjadi ijma’. (lihat Tafsir al-Manar 2/230)
Syaikh Shalih Fauzan Rahimahullah berkata: “Diantara kebenaran dari berwala’ kepada orang-orang kafir ialah bermuqim di negeri mereka dan menjadi warga negara mereka serta meninggalkan hijrah dari negeri mereka ke negeri kaum muslimin sanggup melaksanakan. Maka Allah Ta'ala mengharamkan bermuqim di negeri kaum kafir padahal ia mampu untuk hijrah dari negeri tersebut ke negeri kaum muslimin, dan Allah mengancamnya dengan siksa yang paling berat. Allah Ta'ala berfirman di dalam al-Qur’an 4/97, Allah tidak memberikan udzur untuk bermuqim di negeri orang-orang kafir kecuali orang-orang yang tertindas yang mereka tidak mampu berhijrah. Dan begitu juga Allah Ta'ala memberikan udzur kepada orang-orang yang dengan bermuqimnya ia di tempat tersebut mendatangkan maslahah dieniyyah (kebaikan bagi dienul islam), seperti berdakwah untuk menyeru kepada Allah Ta'ala serta menyebarka islam di negeri-negeri mereka.” (lihat al-Khaththab al-Minbariyyah fie al-Munasabat al-‘Ashriyah 4/19-20)
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata :”Orang-orang yang diwajibkan hijrah adalah orang yang sanggup untuk berhijrah, dan tidak memungkinkan untuk menempakan diennya, dan tidak memungkinkan mendirikan kewajiban diennya ketika berkumpul di kalangan kaum musyrikin, maka dengan kondisi seperti ini diwajibkan baginya hijrah, dengan dalil fiman Allah Ta'ala Q.S.4/97 .” (lihat al-Hijrah Masaa’il wa Ahkam hal. 25) Ayat di atas adalah ancaman keras yang menunjukan atas kewajiban hijrah, karena mengaplikasikan kewajiban dien itu wajib atas orang-orang yang mampu melaksanakannya, dan hijrah adalah suatu kewajiban yang syarat syaratnya harus disempurnakan, sebab tidak ada sesuatu yang tidak dapat sempurna kecuali dengannya maka itu adalah wajib. Hijrah yang hukumnya mandub atau mustahab
Orang yang sanggup hijrah akan tetapi dia juga mampu secara terang-terangan untuk menempakan keislamannya dan menegakkannya di darul kufri, maka mustahab bagi dirinya untuk berhijrah agar dia sanggup untuk berjihad memerangi mereka dan memperbesar jumlah kaum muslimin serta membantu saudara saudara seiman dengan berupaya untuk mengurangi jumlah kaum kuffar serta berlepas diri dari bercampur baur dengan mereka dan kemungkaran yang nampak di tengah-tengah mereka, dan tidak wajib hijrah atas dirinya karena sanggup untuk menegakkan kewajiban-kewajiban diennya tanpa harus melakukan hijrah. (lihat al-Hijrah Masaa’il wa Ahkam hal. :29)
Shahabat ‘Abbas Radliyallahu 'anhuma sebagai pemandu Nabi Shalalahu 'alaahi wa Salam tinggal di Makkah dengan keislamannya. Begitu pula dengan Nu’aim an-Nahham ketika ingin melakukan hijrah, kaumnya yang bernama bani ‘Ady datang kepadanya seraya berkata: ”Tinggallah bersama kami dan engkau tetap pada dienmu. Kami akan melindungimu dari orang-orang yang akan menyakitimu, dan cukuplah dengan kami saja selama engkau merasa cukup dengan kami.”
Kemudian Nu’aim tinggal bersama anak-anak yatim bani ‘Ady dan wanita-wanita jompo mereka. Sekali dia tidak berhijrah dan melanjutkan perjalanan hijrahnya maka Nabi Shalalahu 'alaahi wa Salam bersabda kepadanya: ”Kaummu itu lebih baik bagimu dibandingkan dengan kaumku terhadap diriku, kaumku telah mengeluarkanku dan bahkan hendak membunuhku, sedangkan kaummu menjagamu dan melindungimu.” Maka Nu’aim berkata: ”Wahai Rasulullah bahkan kaummu itu telah mengeluarkanmu kepada ketaatan kepada Allah dan kepada jihad memerangin musuh-musuh–Nya .sedangkan kaumku mereka telah menghalangiku dari berhijrah dan dari ketaatan kepada Allah.” (lihat al-Mughny 10/514-515) Muhamad Rasyid Rahimahullah berkata: ”Adapun orang-orang yang bermuqim di negeri kafir akan tetapi dia tidak dilarang serta tidak disakiti jika ia melaksanakan diennya, bahkan dia kuasa untuk menegakkan seluruh hukum islam tanpa ada gangguan, maka tidak wajib bagi dirinya untuk hijrah. Dan hal ini seperti kaum muslimin yang tinggal di negara Inggris, karena ada jaminan ini, bahkan karena dengan tinggalnya dia di darul kufri merupakan sebab untuk munculnya kebaikan-kebaikan islam dan menjadikan manusia menerimanya, yaitu apabila kaum muslimin yang tinggal di sana dengan kebebasan itu mereka dapat mengetahui hakekat islam dan menjelaskannya kepada manusia baik dengan ucapan, perbuatan, dan akhlaq.” (lihat Tafsir al-Manar 5/357)
Bahkan Imam Ibnul Hasan al-Mawardy berkata: “Apabila dengan terang-terangan dia mampu menampakkan keislamannya, maka bermiqim/tinggal di dalamnya lebih utama daripada meninggalkannya, karena ia diharapkan supaya orang lain masuk ke dalam dienul islam. (lihat Fathul Baary 7/290)
Dalil-dalil yang menjadikan hijrah menjadi mustahab adalah Rasulullah Shalalahu 'alaahi wa Salam bersabda عن عبد الله بن عمرو أنّ رجلاً أتى النّبيّ صلّى الله عليه و سلّم فقال :" إنّي جئت أبايعك على الهجرة ، و لقد تركت أبويّ يبكيان قال :" ارجع إليهما فأضحكهما كما أبكيتهما ".
Artinya: Dari Abdullah bin ‘Amru Radliyallahu 'anhu, sesungguhnya seseorang datang kepada Nabi Shalalahu 'alaahi wa Salam lalu berkata: “Sesungguhnya datang membaiatmu untuk berhijrah, dan telah saya tinggalkan kedua orang tuaku sampai mereka menangis”, maka Rasulullah Shalalahu 'alaahi wa Salam bersabda: “Kembalilah kamu kepada kedua orang tuamu dan gembirakanlah keduanya sebagaimana kamu telah membuat keduanya sedih.” (lihat Shahih Sunan an-Nasaa’ie: 3881)
Imam Ibnu Qudamah berkata: “Seorang yang disunnahkan berhijrah dan tidak diwajibkan baginya adalah seorang yang sanggup melakukannya, akan tetapi ia sanggup menampakkan diennya dan mengamalkannya di negeri kafir.” Hijrah yang hukumnya tidak wajib dan tidak mustahab Orang yang tidak mampu melakukannya baik karena sakit, atau dipaksa untuk tinggal di dalam negerinya, atau karena lemah, seperti kaum wanita dan anak-anak kecil, serta tidak menemukan jalan dan tempat untuk berhijrah, maka orang yang demikian ini tidak diwajibkan baginya untuk berhijrah, berdasarkan firman Allah Ta'ala قال تعالى :" فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ ......". Artinya: “Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (lihat QS. at-Taghabun: 16)
قال تعالى :" لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَاكَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَااكْتَسَبَتْ......".
Artinya:”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya….”(lihat QS. al-Baqarah: 286)
قال تعالى :" ...... لاَنُكَلِّفُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا ......".
Artinya: “……Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya…..” (lihat QS. al-An’aam: 152)
قال تعالى :" إِلاَّ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَآءِ وَالْوِلْدَانِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلاَ يَهْتَدُونَ سَبِيلاً - فَأُوْلاَئِكَ عَسَى اللهُ أَن يَعْفُوَعَنْهُمْ وَكَانَ اللهُ عَفُوًّا غَفُورًا ".
Artinya: “kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), - Mereka itu, mudah-mudahan Allah mema'afkannya. Dan adalah Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.” (lihat QS. an-Nisaa’: 98-99) Dari ayat di atas Allah Ta'ala telah mengecualikan orang yang berpaling dari hijrah terlepas ancaman, yaitu bagi orang-orang yang lemah baik laki-laki maupun perempuan dan anak-anak yang mereka semua tidak mengetahui jalan untuk berhijrah dan tempat yang aman. Imam Ibnu Katsir berkata: “Ini merupakan udzur yang Allah berikan kepada mereka untuk meninggalkan hijrah. Dan hal tersebut karena mereka tidak mampu melepaskan diri dari tangan kaum musyrikin dan jika seandainya mampu, mereka pun tidak mengetahui jalan yang akan dilaluinya.” (lihat Tafsir al-Qur’anul ‘Adhiim 1/670) Sahabat Ibnu abas Radhiallahu 'anhu berkata :”aku dan ibuku termasuk orang yang lemah [tertindas]dari kaum wanita dab anak anak,termasuk orang yang Alloh Subhanahu wata'ala berikan udzur ‘ [lihat tafsir al qur’an al adzim :1/671] Hijrah yang hukumnya haram Seorang yang tinggal di suatu negri kafir yang tinggal nya ia memberikan maslahah yang besar dan tidak mungkin merealisasikan maslahah maslahah itu di negri hijrah,maka hijrahnya seorang tadi adalah haram,seperti seorang yang tinggal di darul kufri yang aman dan terbebas dari fitnah,bisa menampakan diennya,dan bisa mengamalkan kewajiban kewajiban dinnya,dan di samping itu juga dia bisa berda’wah ilal haq,dan bisa menyelamatkan sebagian jiwa dari kesengsaraan,dan yang lain lainnya dari maslahah maslahah yang mana maslahah maslahah itu tak mungkin di realisasikan di negri hijrah[mahjar],maka kondisi seperti ini tidak diwajibkan hijrah,kalau seorang justru berhijrah maka dia berdosa di karenakan menghilangkan maslahah dan mengedepankan mafsadah. Oleh sebab itu kita mendapatkan bahwa Nabi saw tidak menyuruh Raja Najasi untuk berhijrah ke madinah dan meninggalkan negrinya,di sebabkan negri Habasah adalah negri kafir,keberadaannya dia memberikan maslahah hijrah,ketika Beliau wafat tidak ada seorangpun yang menyolatkannya,Rosululloh saw bersabda kepada para sahabat Nya:”Solatlah kalian untuk saudara kalian yang telah meninggal dunia di luar tempat kalian.” Para sahabat bertanya :”siapa wahai Rosululloh ? Rosululloh saw menjawab:”Raja Najasi “[lihat Al hijrao masail wa al ahkam,hal 32]
Bab. IX ALTERNATIF APLIKASI HIJRAH DI MASA KINI
Secara realita,sesungguhnya pada hari ini tidak ada satu tempatpun yang bisa dikatakan darul islam,sehingga menimbulkan satu pertanyaan bila disesuaikan dengan definisi dan pembagian hijrah yang telah disebutkan ,oleh karena itu bagaimanakah bila kita belum mendapatkan mahjar (negri hijrah) di masa kini ? Dr.Muhamad Abdul Qodir Abu faris Hafidzullah memberikan satu tulisannya mengenai hijrah, beliau mengatakan: ”Apabila kaum muslimin tidak mempunyai darul hijrah yang mereka dapat hijrah ke tempat tersebut dan mereka bisa menikmati kebebasan, ketenangan, dan kemantapan di dalamnya, maka mereka wajib bekerja keras dan berjihad untuk mendapatkan darul hijrah tersebut dan mereka bisa hidup dengan islam di dalamnya. Dan ini adalah fardhu bagi setiap muslim ,ia wajib berjihad untuk merealisasikannya. Tidak bekerja keras mendirikan darul hijrah tersebut adalah dosa besar dalam pandangan islam. Doa tersebut tidak akan terhapus kecuali dengan bangkit dan mencabut kekuasaan dari tangan-tangan yang tidak melaksanakan hukum-hukum islam. Banyak tanda-tanda dan isyarat-isyarat yamg menggembirakan hati dan menghembuskan optimis di jiwa bahwa pertolongan itu akan datang dengan izin Allah Ta'ala, dan darul hijrah yang ditungu-tunggu adalah Baitul Maqdis di Palestina, atau dalam sekala yang lebih besar lagi adalah negeri Syam, maka hendaklah kita bekerja keras dan bergembira dengan kabar gembira yang telah diberikan Rasulullah Shalalahu 'alaahi wa Salam .” (lihat Hijrah Nabawiyah menuju Komunitas Muslim hal. 115-116) Diriwayatkan dari ‘Abdulah bin ‘Amru Radliyallahu 'anhu dia berkata: “Saya mendengar Rasulullah Shalalahu 'alaahi wa Salam bersabda قال رسول الله صلّى الله عليه و سلّم :" ستكون هجرة بعد هجرة ، فخيار أهل الأرض ألزمُهم مهاجر إبراهيم ، و يبقى في الأرض شرار أهلها تلفطهم أرضوهم تقدرهم نفس الله و تخشرهم النّار نع القردة و الخنازير ".
Artinya: ”Akan ada hijrah setelah hijrah, sebaik baik penduduk bumi adalah orang yang tetap tinggal di tempat hijrahnya Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam [Al Quds]. Akan selalu ada orang-orang yang jahat di bumi ini, kemudian mereka diusir oleh negrinya dan dibenci Allah Ta'ala,dan mereka dikumpulkan api neraka dengan kera dan babi.” [lihat H.R.Abu Daud [2482] dan Imam Ahmad [2 / 84]
Bab. X KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan yang disebutkan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengertian hijrah tidaklah dapat disamakan dengan pengertian istilah lain, baik mengungsi, transmigasi, urbanisasi, dan lain sebagainya. Akan tetapi hijrah merupakan satu istilah syar’ie yang harus disertai dengan hanya mengaharapkan keikhlasan kepada Allah Ta'ala tanpa adanya tendensi dan pengharapan lain kecuali hanya ridla Allah Ta'ala semata. 2. Semenjak zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam hingga hari ini dan sampai akhir zaman, sesungguhnya kewajiban hijrah itu tidak akan terputus, sebagaimana anggapan sebagian orang atau kelompok yang menyangka bahwa hijrah itu hanya khusus berlaku pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dari Makkah menuju Madinah, berdasarkan sabda beliau yang berbunyi: “Tidak ada hijrah sesudah fath Makkah, akan tetapi jihad dan niat. Dan apabila kalian diperntahkan untuk berperang, maka berperanglah.” Padahal sesungguhnya hadits ini telah didudukkan oleh Ulama’ dengan hadits-hadits lain yang telah disebutkan dali-dalil tentang disyari’atkannya hijrah.
3. Berdasarkan pembagian hijrah yangada, maka hijrah yang sebenarnya adalah hijrah dalam pengertian khusus, yaitu keluar (keluar) dari darul kufri atau darul harbi menuju darul islam, bukan sebagaimana anggapan orang-orang yang membagi hijrah kepada bentuk bathin saja.
4. Kewajiban hijrah disesuaikan dengan kondisi setiap pribadi atau jama’ah dalam menjalankan syariat islam dan iqamatuddien.
5. Jika tidak didapatkan darul hijrah maka bagi setiap muslim bahkan jama’ah untuk berusaha mewujudkan darul hijrah dengan segenap upaya dan kemampuan yang ada untuk tegaknya hukum Allah Ta'ala di permukaan bumi ini.
PENUTUP
Tidak ada kebaikan kecuali hanya dari Allah Ta'ala semata, bagi-Nya segala pujian dan kemuliaan, sehingga dengan karunianya juga pembahasan dalam masalah hijrah ini dapat diselesaikan walaupun di sana-sini masih banyak kekurangan, maka dari itu semua saran dan kritik sangat kami harapkan untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi dan Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam beserta keluarganya, para Shahabatnya, dan orang-orang yang setia meniti jalan yang dilalui mereka. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Tarjamahnya, Departemen Agama Republik Indonesia.
Jami’ul Bayan fie Tafsiril Qur’an, Imam al-Hafidz Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabary, th. 1403 H/1983 M, Darul Ma’rifah, Beirut-Libanon.
Tafsir al-Qur’anul ‘Adhim, Imam al-Hafidz Isma’il bin Umar bin Katsir ad-Damsyiqy, th. 1414 H/1994 M, Darul Fikr, Beirut-Libanon.
Ahkamul Qur’an, Imam Abu Bakr Muhammad bin Abdullah Ibnul ‘Araby al-Ma’afiry, Darul Ma’rifah, Beirut-Libanon.
Tafsir al-Manar, as-Sayyid Muhammad Rasyid Ridla, cet. 4 th. 1373 H/1954 M, Darul Manar, Mesir.
Al-Jami’ lie Ahkamil Qur’an, Imam Muhammad bin Ahmad al-Qurthuby, ── Ad-Dur al-Mantsur fie Tafsir al-Ma’tsur, Imam Jalaluddin Aburrahman bin Abu Bakar as-Suyuthy, th. 1414 H/1993 M, Darul Fikri, Beirut-Libanon.
Fathul Baary syarh Shahihil Bukhary, al-Hafidz Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-Asqalany, cet. 1 th. 1410 H/1989 M, Darul Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut-Libanon.
Shahih Muslim bisyarh an-Nawawy, Imam Abu Zakaria bin Syaraf an-Nawawy ad-Damsyiqy, th. 1401 H/1981 M, Darul Fikri, Beirut-Libanon. Sunan Abi Dawud, Imam al-Hafidz Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats as-Sajastany, Maktabah Dahlan, Indonesia.
Sunan an-Nasa’ie, Imam al-Hafidz Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali an-Nasa’ie, th. 1415 H/1995 M, Darul Fikri, Beirut-Libanon.
Sunan at-Tarmidzy, Imam al-Hafidz Muhammad bin ‘Isabin Saurah at-Tarmidzy, koreksi syaikh Ahmad Syakir, Darul Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut-Libanon.
Al-Musnad, Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal asy-Syaibany, cet. 14 th. 1403 H/1983 M, al-Maktabah al-Islamy, Beirut-Libanon.
Majma’ az-Zawa’id wa Manba’ al-Fawa’id, Imam al-Hafidz Zainudien ‘Ali bin Abu Bakar alHaitsamy, th. 1408 H/1988 M, Darul Fikri, Beirut-Libanon.
‘Aunul Ma’bud, al-‘Allamah Abu ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-‘Adhim Abady, cet. 3 th. 1399 H/199 M, Darul Fikri, Beirut-Libanon.
Al-Lu’lu’ wal Marjan, syaikh Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, cet. 1 th. 1414 H/1994 M, Maktabah Daris Salam, Riyadl-Saudi Arabia.
Jami’ul Ushul fie Ahaditsir Rasul, Imam al-Hafidz al-Mubarak bin Muhammad ibnul Atsir al-Jazary, cet. 2 th. 1403 H/1983 M, Darul Fikri, Beirut-Libanon.
Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, Imam Abdurrahman bin Ahmad ibnu Rajab al-Hambaly, Darul Fikri, Beirut-Libanon. Al-Wala’ wal Bara’ fiel Islam, syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, th. 1411 H, Darul Wathan, Riyadl-Saudi Arabia.
Al-Khuthbah al-Minbariyah fiel Munasabah al-‘Ashriya, syaikh Shalih bin Fauzan, cet. 1 th. 1413 H/1993 M, Maktabah Ma’rifah, Riyadl-Saudi Arabia.
Al-Hijrah Masail wa Ahkam, syaikh Abu Basyir,
── Al-I’lam biwujubil Hijrah min Daril Kufri ila Daril Islami, syaikh Abdul ‘Aziz bin Shalih al-Jarbu’,
── Hijrah dan I’dad, syaikh Abdullah ‘Azzam,
── Al-Jihadu al Qitalu fie asy-Syiyasati asy-Syar’iyyati, Dr. Muhammad Khairu Haikal, cet. 1 th. 1414 H/1993 M, Darul Bayariq.
Al-Mausu’ah al-Muyassarah fie al-Adyan wal Madzahib wal Ahjab al-Ma’ashir, cet. 3 th. 1418 H/1997 M, Darun Nadwah al-‘Alamiyah,
── Ahkamiyah al-Jihad fie Nasyrid Dakwah al-Islamiyah wa Radd ‘alath Thawa’if ad-Daulah Fikhi, Dr. ‘Ali bin Nafi’ al-‘Uyany, cet. 1 th. 1405 H/1985 M, Daruth Thayyibah.
Al-Umm, Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’ie, Darul Ma’rifah, Beirut-Libanon.
Al-Mughny, Imam Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisy, Darul Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut-Libanon.
Al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab, Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawy ad-Dimasqy, cet 1 th. 1417 H/1996 M, Darul Fikri, Beirut-Libanon.
Majmu’ Fatawa, syaikhul Islam Ahmad bin Taimiyah, th. 1418 H/1997 M,
Zaadul Ma’aad fie Hadyi Khairil ‘Ibad, Imam Muhammad bin Abu Bakr Ibnul Qayyim al-Jauziyah az-Zar’ie ad-Damsyiqy, cet. 14 th. 1407 H/1986 M, Muasasah ar-Risalah, Beirut-Libanon.
Al-Fatawa al-Kubra, syaikh Ibnu Taimiyah, cet. 1 th. 1408 H/1987 M, darul Kutub al-‘Ilmiyah, Fatawa al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-‘Ilmiyah wal Ifta’, syaikh Ahmad bin Abdur Razaq, cet. 1 th. 1414 H/1998 M, Darul ‘Ashimah,
Fatawa al-Aimmah an-Najdiyah, Abu Yusuf ibnul Hasan ‘Ali Farraj, Dar Ibnu Huzaimah, cet. 1 th. 1421 H/2000 M,
Al-Bidayah wan Nihayah, Imam al-Hafidz Isma’il bin Umar bin Katsir ad-Damsyiqy, cet. 3 th. 1418 H/1998 M, Darul Ma’rifah, Beirut-Libanon.
As-Sirah an-Nabawiyah, Imam Abdul Malik bin Hisyam bin Ayyub al-Himyary, Muasasah ‘Ulumul Qur’an.
Al-Majarik fiet Tanzil wa Haqaiq at-Ta’wil, Imam Abdullah bin Ahmad bin Mahmud an-Nasafy, cet. 1 th. 1415 H/1995 M, Darul Kutubil ‘Ilmiyah, Beirut-Libanon.
Hijrah Nabawiyah menuju Komunitas Muslim, Dr. Muhammad Abul Qadir Abu Faris, cet. 1 th. 1417 H/1997 M, Citra Islamy Press, Solo-Indonesia.
Lisanul ‘Arab, Imam Jamaluddin Muhammad bin Mukrim Ibnu Mandhur al-Afriqy al-Mishry, Darul Fikr, Beirut-Libanon.
Al-Mishbah al-Munir, al-‘Allamah Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali bin Fayyunu, th. 1987 M, Maktabah Lubnan, Beirut-Libanon.
An-Nihayah fie Gharibil Hadits wal Atsar, Imam al-Mubarak bin Muhammad bin Atsir al-Jazary, al-Maktabah al-‘Ilmiyah, Beirut-Libanon.
Kamus al-Munawwir, Ahmad Warson Munawwir, cet. 14 th. 1997 M, Pustaka Progresif, Surabaya-Indonesia. * * * * *